Bertemu Malaikat

1.3K 97 4
                                    

Pendeta Lucas Pierré

Aku baru saja menengok Suster Elizabeth yang terbaring lemah di rumah sakit dengan mobilku. Suster Elizabeth adalah temanku, kebetulan panti asuhan yang diurusnya berdekatan dengan biara yang aku tinggali, jadi terkadang anak-anak di panti asuhan datang berdoa di biaraku, atau menggunakannya untuk merayakan hari perayaan, dari situlah kami bersahabat.

Sekarang Elizabeth (ya, kami seumuran jadi aku tak sungkan memanggil langsung namanya) berbaring di rumah sakit karena tumor otak, rupanya tumor itu sudah ada di otaknya sejak lama, tapi Elizabeth dengan bodohnya tidak menaruh perhatian.

Yah, aku juga baru tahu belakangan ini, kalau sejak lama pula aku sudah tahu, tiap hari pasti kuteror dengan telepon dariku.

Sekarang tumornya mengganas jadi kanker otak, dia bisa kapan saja diambil nyawanya. Dan besok Elizabeth akan melaksanakan operasi yang memiliki kemungkinan gagal, aku hanya bisa berdoa.

Elizabeth dengan tenangnya sudah menandatangani persetujuan penyumbangan seluruh organ tubuhnya bila operasi tersebut gagal. Lagi-lagi aku hanya bisa berdoa, meski tangisanku menghiasinya.

"Setidaknya saat aku sudah dipanggil Tuhan, tubuhku yang tak bernyawa berguna untuk mereka yang sekarat" ujarnya sambil tersenyum. Aku setengah mati menahan air mataku saat itu, sungguh. Itu kata-kata terakhir temanku yang selamanya tidak akan pernah kulupakan.

Arah jalan pulang ke biaraku melewati panti asuhan yang di urus Elizabeth. Bagaimana keadaan panti asuhan ini seandainya Elizabeth pergi..? Aku memandangi panti asuhan tersebut.

Lalu sesuatu yang aneh menangkap mataku. Aku bersumpah aku melihat kobaran api kecil di taman panti asuhan tersebut.

Api sekecil apapun jika dinyalakan di taman akau merambat kemana-mana, dan akhirnya akan membakar habis yang ada di dalamnya.

Tak ingin panti asuhan yang diurus Elizabeth kebakaran, aku mengehentikan mobil dan berlari ke arah api tersebut dengan membawa air mineral dari mobilku, berniat melompati pagar panti asuhan yang tidak seberapa tinggi. Sebenarnya pagar tersebut hanya untuk formalitas, perumahan ini sebenarnya cukup aman, karena itu seandainya rumah membiarkan pintunya terbuka seharian disini tidak akan terjadi apa-apa. Tapi dulu aku pernah dengar gosip soal pembunuh berantai yang pernah menyusup ke perumahan ini, tapi kabarnya tak terdengar lagi.

Alih-alih menemukan kebakaran kecil, aku menemukan hal lain. Gadis kecil, mungkin berumur dua belas tahun, meringkuk dengan pakaian sederhana compang-camping seperti habis terbakar. Rambutnya panjang sekali, nyaris membungkusnya, kulitnya yang sangat pucat disinari cahaya rembulan, jadi sepucat mayat. Hal yang aneh berhubungan dia terlihat seperti baru saja terbakar.

Tapi aku tak mempedulikan apa-apa lagi, hal yang kuketahui dan harus kulakukan adalah; menyelamatkan gadis malang tersebut.

Aria

Tenangkan dirimu, kumohon, tenanglah sekali saja. Itu hanya masa lalu, hanya mimpi buruk. Batinku terhadap diriku sendiri, Dira juga membisikan hal yang serupa, tapi suaranya seperti terbang terbawa angin. Sementara hantu yang pernah kuceritakan dulu-- wow, mereka tidak berubah sama sekali, bahkan pria tanpa kepala tersebut masih mencari-cari kepalanya-- hanya memandangku tanpa ekspresi, bahkan ada yang tidak mengubrisku sama sekali. Ya udah sih, kok aku seperti ingin diperhatikan hantu? Tujuh tahun di bawah sana membuatku gila.

Perlahan-lahan apiku mereda, menyisakan pakaianku yang compang-camping. Aku memandangi pakaianku yang sudah jelek tambah jelek, lalu meringkuk dibawah sinar rembulan, dengan tirai rambutku membungkusku.

Apanya yang sudah menguasai apiku? Levelku sama seperti bayi yang baru belajar berjalan.
Thud.

Aku mendengar suara orang melompat dan mendongakkan kepalaku.

Aku melihat sesosok pria yang sudah berumur, membawa botol air mineral melompati pagar panti asuhan yang tingginya tidak seberapa (itu kesalahan panti asuhan, pantas saja malam itu pembunuh bisa menyeludup dengan mudahnya kesini) lalu berlari menghampiriku dengan raut wajah khawatir "Dik, kamu kenapa??" Aku hanya memandanginya dengan tatapan kosong, awalnya aku mencurigainya sebagai orang jahat, tapi pria ini memiliki aura yang baik, (yep, aku juga bisa melihat aura orang) aura orang soleh, dan wajahnya penuh kasih.

Kata-kata terakhir yang kuucapkan adalah "Tolong... Aku" dengan suara parau, lalu aku jatuh ke tidur yang lelap.

                         *******

Aku terbangun oleh sinar matahari yang menyusup dari balik tirai kamar. Aku bangkit duduk dan menguap, belum sepenuhnya bangun.

Eh? Sinar matahari? Mataku akhirnya terbuka lebar, memandangi sekelilingku. Aku terbangun dikamar yang tidak kukenali, tapi nuansanya lebih hangat dari kamarku yang suram di bawah tanah. Selama tujuh tahun aku tidak pernah melihat matahari, kukira selamanya akan begitu, lalu aku ingat, semalam aku bertekad untuk mengubah segalanya.

Aku berlari ke jendela kamar yang tidak kukenali, tanpa tahu malu aku membuka tirai dan jendela itu lebar-lebar, merentangkan tanganku, merasakan udara segar dan matahari yang sudah lama tidak kurasakan. Sekarang rasanya aneh.

Aku baru menyadari ada yang aneh denganku. Aku memandangi tubuhku, aku tidak lagi mengenakan pakaian sederhana yang sudah compang-camping, tapi piyama berwarna biru dengan motif kucing yang lucu. Aku memeluk diriku, dan memejamkan mata, menikmati kenyamanan piyama ini. Entah sejak kapan aku mengenakan pakaian berwarna selain kaus putih dan celana hitam polos.

Aku berjalan keluar dari kamar itu, ternyata diluar kamar merupakan ruang makan. Dan menemukan sekelompok orang sedang sarapan.

Meja kayu itu memiliki enam kursi yang saling berhadapan, lima kursi itu sudah terisi, menyisakan satu kursi. Lima kursi di meja itu berisi satu laki-laki berbadan gemuk yang sedang asyik menikmati sarapan roti bakarnya, satu laki-laki biasa yang sedang menikmati nasi gorengnya dengan semangat-- dan dari warna nasi goreng itu, sepertinya rasanya sangat pedas, habis warnanya merah begitu--, satu wanita yang mungkin bertugas menjadi suster menikmati sarapan serealnya dengan tenang. Terakhir, pria yang semalam melompati pagar panti asuhan, sedang menelepon seseorang dengan raut wajah cemas, sarapan roti panggangnya masih utuh, tanda belum disentuh.

Kalau diperhatikan, pria ini memiliki raut wajah orang luar, rambutnya sudah beruban. Karena semalam modal penerangannya hanya sinar bulan, aku baru memperhatikan sekarang.

"Jadi? Operasi Elizabeth Mardé sukses?" Aku mendengarnya bertanya dengan gusar kepada orang diseberang sana.

Elizabeth Mardé? Bukannya itu Suster Elizabeth?

The Hell QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang