St. Mikael

1.2K 79 6
                                    

Aria Pierré.

Aku tidak percaya hari ini akan datang juga.

Selama seminggu ini aku mengurus seragam, buku pelajaran, mencari jadwal jam pelajaran, juga informasi tentang letak kelasku. Aku melakukan semuanya dipagi hari, jadi murid-murid masih di dalam kelas,  mereka nggak perlu tau ada orang yang bermata merah berkeliaran di sekolah mereka.

Tiap kali aku hendak masuk kebangunan sekolah tersebut, aku selalu memperhatikan bangunannya. Aku suka sekali dengan arsitekturnya! Bergaya kolonial belanda, masih memiliki sentuhan antik walaupun sudah direnovasi beberapa kali. Hantu disini juga tidak sedikit, but they're harmless.

Dan disinilah aku. Berdiri di pintu gerbang dengan canggung bak anak kecil yang terpisah dari ibunya, dengan rok merah kotak-kotak yang berhenti tepat di lutut, kemeja putih seperti seragam pada umumnya, tapi dengan pemanis pita yang senada dengan roknya. Aku menyukai seragamnya, tapi karena cuaca sekarang sedang dingin, aku mengenakan rompi rajut berwarna hitam. Tadi, sebelum aku berangkat, Andy dan Jo tergopoh-gopoh berlari ke arahku.

"Lo kenapa ga bangunin gue, sialan!" Protes Jo

"Yakan gue mana tau si Aria berangkat jam segini! Biasanya jam delapan aja dia masih ngebo" Andy membela diri.

Sial.

"Kenapa elo-elo pada udah lari pagi?" Salakku. "Eh, ini Ri" Andy menyerahkan kepadaku pita berwarna merah polos, aku menyukainya detik itu juga "Buat gue??" Teriakku kaget, habis, mereka biasanya pelit banget, berbagi kue saja tidak mau "Ada apa nih?" Aku bertanya "Nggak papa, pengen ngasih aja" Andy menjepitkan pita manis itu di rambutku yang hitam "dan emang cocok buat lo!" Sambung Jo "man, lo harus sering-sering dandan kaya cewek manis. Anggap aja kenang-kenangan dari kami ya!" Aku menonjok main-main bahu mereka, tapi lalu memeluk mereka berdua kemudian berangkat sekolah. Man, I love these guys.

Karena umurku baru dua belas tahun, aku masuk kelas enam SD, padahal aku sudah menguasai materi kelas dua SMP (kelas tiga aku juga bisa, tapi belum mantap), tapi aku tak berniat sesumbar tentang itu bila tidak ditanya. Menurut informasi yang aku terima, aku harus terlebih dahulu konfirmasi ke TU, nanti diantar menuju kelas yang akan kumasuki, yaitu kelas 6-A dari A B C D.

Aku masuk tepat di pertengahan semester, jadi kabar perpindahanku lumayan heboh, untung saja sekolah ini masih mau menerimaku. Guru yang membimbingku masuk kelas adalah Bu Teti, beliau sangat ramah, aku menyukainya. Tapi yang tidak kusukai adalah bagaimana beliau terus menerus menatap mata merahku tanpa hentinya sejak dari TU "Ada apa di wajah saya, Bu?" Tanyaku sesopan mungkin, Bu Teti tersentak kaget, tapi lalu menjawabku "Ah nggak, sori, Ri. Ibu suka aja sama mata kamu. Kok bisa merah gitu, ya?" Ugh, pertanyaan paling membosankan. Maria, Jo, Andy bahkan Ayah juga menanyakan hal itu "Gatau bu, genetik kayanya" dan itu jawaban yang selalu kuberikan pada mereka, karena pada dasarnya aku juga tidak tahu kenapa mataku seaneh ini.

Aku berusaha bersikap cool saat memasuki kelas, padahal rasanya jantungku hendak jatuh ke lantai saat itu juga, aku yakin pelipisku sudah dibasahi keringat dingin. Bu Teti meninggalkanku bersama guru yang tidak kukenali, dan massa yang tidak kukenali pula. Kelas yang sebelum kumasuki sudah ribut, tambah ribut taktakala melihatku masuk.

"Eh, liat-liat, matanya kok merah banget ya? Keren!"

"Anjir woy, cantik banget.."

"Kulitnya putih pisan gila, gue suka"

Dan seterusnya.

Ingin sekali kuteriaki mereka untuk diam, habis kasihan guru yang berada di sampingku ini, kewalahan menenangkan anak-anak tersebut. Mereka baru diam saat Bu Teti memasuki kelas, rupanya Bu Teti punya gelar guru galak.

The Hell QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang