The Hell Queen

1.6K 116 2
                                    

"Lihat, itu anak yang membakar gaun Lucy di ulang tahunnya!"

"Tapi bagaimana dia bisa membakar gaun Lucy?"

"Entahlah, mungkin dia memang titisan Iblis"

"Kalau begitu kita panggil dia Ratu Neraka saja"

Benar dugaanku, sejak kebakaran kecil itu hidupku tidak akan pernah sama lagi.

Orang-orang di panti asuhan tidak ada yg berani menatap mataku saat berbicara, nilai pertemananku berkurang drastis--sekarang hanya Dira dan teman-temannya yang tidak bisa berbicara yang benar-benar bermain denganku, disaat aku tidak sengaja menyentuh orang lain, orang itu langsung melompat mundur, seolah-olah mereka takut dengan mereka akan terbakar kalau menyentuhku.

Oh, hal-hal itu masih bisa kuterima, tapi yang membuatku marah adalah; aku tidak dikenali dengan namaku.

Seolah-olah aku tidak punya nama, seolah-olah namaku bukan Aria lagi, tapi Ratu Neraka. Sebelumnya, ada anak kecil yang tidak sengaja menabrakku, lalu dia segera minta maaf tanpa menatap mataku "maaf, Kak Ratu" aku yang kebingungan bertanya "Siapa Kak Ratu? Aku Aria" anak itu mendongakkan kepalanya dan menatapku heran "Tapi semua orang disini memanggil kakak Ratu Neraka" Ujarnya polos. Dalam hitungan detik, keheningan yang begitu memekakan di telingaku melingkupi ruangan itu, dan aku bisa merasakan lagi lagi amarah merebak dalam diriku, membuatku merasakan sensasi membakar di tubuhku, tapi tidak ada api yang keluar "Siapa yang bilang begitu, dik?" Tanyaku dengan suara rendah karena mencoba menahan amarahku, aku mencoba tersenyum, tapi kurasa senyuman itu lebih mirip senyuman seorang psikopat yang hendak menghabisi korbannya, aku berusaha agar mataku terlihat ramah, tapi kurasa gagal karena aku sedang merencanakan pembunuhan terhadap akar penyebar nama palsuku. Anak itu sepertinya bisa membaca suasana hatiku dan tak berniat berbohong "Ng..nggak tau kak.. Adek mau main lagi ya.." Lalu anak itu lari terbirit-birit dariku. Setelah itu suasananya kembali normal, tapi aku bisa merasakan tatapan orang-orang di sekelilingku yang seolah-olah berkata "Tidak salah aku memanggilnya Ratu Neraka" hingga sekarang.

Sekarang jam makan siang, lagi-lagi tidak ada yang berani duduk di dekatku, tapi ada anak perempuan yang datang terlambat karena terlalu lama bermain ditaman, berhubung satu-satunya kursi yang tersisa hanya kursi disampingku, terpaksa dia duduk disampingku (entahlah, biasanya tidak ada kursi yang tersisa). Setelah mengambil makanannya, dia melangkah ke kursi di seberangku, sebelum dia meletakkan piringnya, aku menahannya "Eh, jangan duduk di sini, ada orang" dia menatapku heran, tapi aku bisa melihat sekilas ketakutannya "Orang?" dia mendengus "disini kosong kok" Apa-apaan dia? Apa dia tidak bisa melihat Dira duduk disana? "Dira duduk disana" aku bersikeras, Dira hanya diam menatap meja. Anak perempuan itu membanting piringnya dan menatapku kesal.

Entah kenapa, sepertinya tiap orang yang berbicara kepadaku selalu berakhir dengan suasana tidak menyenangkan.

"Kamu itu aneh banget, sih!" Suaranya meninggi. Suara ribut di jam makan siang hilang, pertanda perhatian seluruh orang terarah pada kami "Dira ini, Dira itu, kamu tau gak, selama ini kamu itu sendiri?!" Suster menegur "Lia!" Tapi Lia tidak mengindahkan teguran Suster, melainkan terus mencerocos "Kamu nggak tau? Di panti asuhan ini nggak ada yang namanya Dira! Aku selalu liat kamu bicara sendiri, main sendiri, jangan jangan kamu memang titisan iblis, jadi bisa liat hantu?! Dasar Ratu Neraka!" Aku tersentak kaget, tatapanku mengarah ke Dira, yang kini hanya menatapku kosong dan sedih, sementara kedua matanya yang berwarna coklat menitikan air mata, rambutnya yang ikal sebahu jatuh dilehernya dengan lemas, dan kalau diperhatikan, baju yang sehari-hari dikenakannya terlalu kuno dan mulai kumal. Aku tidak peduli dia ternyata hantu, tapi yang membuatku kesal, Lia membuat temanku menangis!

Aku berbisik pada Dira untuk berdiri dan membiarkan putri yang manja ini duduk, setelah emosiku terkontrol, aku membentak Lia "Ya udah kalo mau duduk, ya duduk aja! Ga usah banyak ngomong, dasar bawel!" Wajahnya merah padam, lalu akhirnya duduk disebrangku tanpa berkata apa-apa. Suasana kembali normal, malah terdengar suara cekikikan menertawakan tingkah Lia yang konyol, Lia hanya bisa pura-pura tidak mendengar mereka dan meneruskan makan.

Malamnya, aku sedang melamun di bangku taman, tidak mengindahkan pemandangan disekelilingku yang lumayan mengerikan; pria tanpa kepala mencari sesuatu kesana kemari-- kurasa kepalanya, anak-anak yang memiliki bekas tembakan di dada mereka bermain kejar-kejaran dijam yang tidak wajar, ayunan taman tampak berayun karena angin malam, padahal ada kakak perempuan berambut panjang yang duduk disana, di pohon ek yang pernah di duduki Bu Liza ada yang gantung diri, dan aku sedang mengelus-elus anjing yang kepalanya nyaris putus.

Namun aku sudah terbiasa, malah menganggap mereka teman-- sebelum aku disadarkan oleh Lia mereka adalah hantu. Aku juga tidak menaruh perhatian pada mereka, melainkan pada bulan yang malam ini bersinar terang.

Tiba-tiba terdengar suara dedaunan diinjak, aku menoleh dan melihat ada orang yang mencoba masuk ke Lamar dilantai bawah; kamar suster kepala panti asuhan.
Oh, tidak.
Perampok.

Mungkin lebih parah, pasalnya pria itu membawa senjata-- pisau. Pembunuh.

Aku kebingungan harus bagaimana, aku ingin menghentikan apa yang akan terjadi, tapi aku tidak bisa apa-apa karena tidak membawa senjata apapun.

Apiku. Tapi aku tidak bisa dan tidak mengerti cara mengendalikannya. Matilah aku, perampok itu sudah berhasil membobol jendela kamar suster!

"Jangaann!!!" Entah  apa yang kupikirkan, aku malah berteriak, dasar bodoh, sekarang apa?

Pembunuh itu melihatku dan mengejarku, mengacungkan pisaunya padaku.

Aku ketakutan, melarikan diri dari pembunuh mengerikan itu, tapi dalam waktu singkat pembunuh itu menangkap leherku dan mencengkramnya kuat-kuat.

Aku kehabisan nafas, menendang, berusaha melawan, tapi tidak berpengaruh apa-apa.

Tapi entah kenapa, disaat yang bersamaan, aku sangat marah.

Beraninya dia menyentuhku! Sejak aku dijauhi aku terbiasa tidak disentuh, dan sekarang aku sensitif sekali. Beraninya dia menyeludup masuk kesini! Apa yg pernah di lakukan panti asuhan baik hati ini kepadanya? Amarah ini terasa lebih besar dari yang sebelumnya, tubuhku lagi lagi terasa terbakar.

Tahu-tahu saja tangan busuk pembunuh itu sudah berselimutkan api.

Segalanya berlangsung cepat. Dia berteriak melepaskanku, menjatuhkanku ke tanah sementara aku terduduk lemas dan meraup udara dengan rakus sambil terbatuk-batuk. Lalu api itu menjalar ke kepalanya.

Lalu dadanya.

Lalu kakinya.

Akhirnya seluruh tubuhnya berselimutkan api. Berangsur-angsur, seiringnya aku mengatur emosiku, api itu padam, menyisakan tubuh pembunuh yang sudah terbakar.

Aku menatap tanganku dengan ngeri. Akulah pembunuhnya disini.

Terdengar teriakan dari kamar suster-- tidak, dari segala arah, seluruh panti asuhan terbangun karena ulahku.

Mereka semua baru saja menyaksikan pertunjukan tadi.
Matilah aku.

The Hell QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang