Pendeta Lucas Pierré.
Aku tidak pernah menyangka Aria adalah seorang jenius.
Kemarin, hasil tes IQ-nya dibagikan, dia menyerahkan map itu kepadaku dengan ragu, justru karena itulah aku makin penasaran. Anxious. Kukira hasilnya jelek, ternyata jauh dari biasa, IQ-nya 145. Memang nilai akademisnya bagus, selama dua bulan sejak dia masuk, tak pernah sekalipun aku melihat dia membawa pulang nilai 80. Aku memang heran, tapi rasa senang dan syukurku jauh lebih besar, jadi aku tidak mengindahkannya. Di dalam map itu terselip surat tawaran masuk kelas akselerasi, detik itu aku tersedak ludahku sendiri. Saat aku masih heboh terbatuk-batuk sambil menggebuki dadaku, aku menyerahkan map itu ke Andy dan Jo, Aria dengan sigap menawarkan segelas air padaku.
Reaksi Andy dan Jo tak jauh beda, mereka melongo selama beberapa saat, tapi kemudian bicara tergagap-gagap sambil menunjuk-nunjuk Aria, aku tidak tahu apa yang mereka katakan, tapi aku sempat mendengar soal jangan-jangan Aria itu remaja yang menyusut jadi anak kecil. Seperti Conan deh kira-kira. Aria sewot dikatai begitu.
Jadi, hari ini aku dan Aria akan pergi menghadap kepala sekolah untuk konfirmasi bahwa Aria bersedia mengikuti kelas akselerasi. Awalnya Aria menolak, tapi setelah aku menjelaskan kelas akselerasi adalah program loncat kelas untuk anak pintar, dia buru-buru menyetujuinya. Hari ini hari sekolah, tapi berhubung kami sudah mendapat ijin khusus, kami tak segan datang jam sepuluh pagi. What? Aku dan Aria baru bangun jam sembilan, untung kami masih tau diri buat datang jam sepuluh.
"Selamat pagi" sapa Sr. Arthur dengan wibawa saat kami memasuki ruang kepala sekolah yang bersahaja. Ruangan ini dipoles dengan cat berwarna krem, gordennya merupakan gorden dua lapis yang terlihat mahal, penghias ruangan ini bukan gucci ataupun lukisan yang seperti kalian harapkan, melainkan piala-piala yang berhasil digaet St.Mikael yang omong-omong, sangat banyak. Itulah salah satu alasan aku memasukkan Aria kesini. Arthur sedang duduk di mejanya yang terbuat dari mahogani, dia memiliki tarikan orang luar, lebih spesifik lagi, dia memiliki darah orang Italia. Rambutnya sudah beruban di poles ke belakang, mirip orang-orang kaya, kulitnya putih pucat, wajahnya dihiasi kumis tipis, dia tidak gemuk, malah masih tegap walaupun sudah berumur (sama sepertiku), matanya berwarna hazel, wajahnya tirus menampakkan garis rahang yang tegas. Dia mengenakan jas dan dasi hitam dengan kemeja merah marun "Ah, tur, ga usah sok sok berwibawa di depan teman lama lo ini, merinding tau gak?" Yep, Arthur adalah teman lamaku, dia teman yang baik, yang membuatku was-was terhadapnya hanyalah dia pandai memakai topeng apapun, buktinya saja sekarang. Mungkin sekarang dia terlihat seperti raja yang bijak, tapi mungkin dilain kesempatan kita melihatnya, dia akan terlihat seperti anak geng motor.
Wibawanya runtuh seketika ketika dia dengan santainya menyandar di kursinya lalu mengangkat kedua kakinya di meja mahoganinya itu "Saya gak sok-sok berwibawa, Pastur Lucas" dia menyunggingkan senyum ala cheshire cat, senyum yang tidak mencapai mata, senyum yang selalu membuatku merasa tidak enak "Omong-omong, langsung ke intinya, soal anak ini" Arthur mengarahkan telapak tangannya ke Aria "Dia adalah murid pertama yang menerima tawaran masuk kelas akselerasi, saya bangga memiliki murid sepertinya. Menurut catatan guru juga dia tidak mempunyai masalah soal sikap atau nilai" dia bertepuk tangan kecil "Jadi, minggu depan Aria bisa langsung masuk kelas, saya beri kalian tujuh hari untuk mengurus seragam dan buku, sisanya serahkan pada kami, kalian hanya perlu menunggu kabar." Dia meletakkan kakinya kembali ke lantai "Ada yang kurang jelas?"
Begitulah, akhirnya kami sudah menyelesaikan urusan kami.
Seminggu kemudian...
Alex Purnama.
Aku sedang tidur-tiduran di atap sekolah ketika aku mendengar bel masuk sekolah. Aku mengerang. Ingin sekali rasanya membolos hari ini, tapi dengar-dengar ada murid baru masuk kelasku.
Dari gosip yang beredar, dia masih berumur dua belas tahun, yang berarti dia adalah bocah yang pintar luar biasa, hal yang membuatku tertarik, dan tentunya tidak akan meninggalkan kesempatan ini untuk menjadikannya mainanku.
Aku melompati pagar pembatas pendek tak berguna yang fungsinya hanya untuk menghalangi murid cupu, bukan murid ajaib sepertiku. Yep, aku adalah orang yang mungkin kalian sebut anak geng motor, preman, atau lebih keren, bos mafia.
Percayalah, aku nggak akan mengklaim diriku sebagai salah satu dari mereka, tapi aku orang yang mengutamakan kebebasan, aku tidak sudi menurut pada peraturan yang bahkan tidak memiliki berat, dan ditetapkan oleh orang yang sok sok berkuasa, tapi kalau kuberi tonjokku secara gratis, dia pasti berlari terbirit-birit ke ibunya, sementara aku tertawa terpingkal-pingkal. Aku tertawa sendiri tentunya, karena aku tidak memiliki teman. Bukannya aku butuh mereka kok, bagiku mereka hanya beban yang tidak berguna, drama ini, drama itu, blah blah blah.
Aku menghempaskan pintu kelas dengan satu tangan. Mendadak kelas yang ribut menjadi hening, aku melangkah ke mejaku yang terletak di paling pojok belakang. Tempat favorit dan incaran semua anak, sayangnya aku termasuk salah satu dari mereka, yang membedakanku hanyalah aku bersedia menonjoki orang yang berani menduduki bangku ini, so, akulah pemilik tidak resmi bangku terhormat ini. Tempat duduk disebelahku kosong, orang yang akan menduduki bangku ini entah beruntung atau sial luar biasa.
Anak baru itu akhirnya memasuki kelas dengan Pak Widi, membuat gempar seluruh kelas. Wajar saja, dia memang... Cantik. Tubuhnya kurus dan lumayan tinggi untuk ukuran anak berumur dua belas tahun, rambutnya yang sehitam malam sangat panjang-- sepinggang dan di beri poni rata, kulitnya putih pucat. Dia mengenakan seragam, sama seperti murid lainnya, tapi entah kenapa seragam membosankan itu melekat sempurna ditubuhnya. Seragam kami sama seperti seragam SMP lainnya, yaitu rok biru tua dan kemeja putih, hanya saja seragam kami memiliki hiasan pita kecil yang senada dengan rok untuk cewek, dasi yang senada pula dengan celana untuk cowok (yang omong-omong saat ini kulonggarkan). Namun cewek ini mengenakan vest hitam, hal yang aneh, berhubung sekarang sedang kemarau, memangnya dia tidak kepanasan?
"Halo, nama saya Aria Pierré" Katanya memperkenalkan diri di depan kelas dengan tenang. Meskipun nama belakangnya nama belakang orang barat, menurutku dia lebih mirip orang Jepang "Saya baru disini, tolong bantuannya" dia diarahkan untuk duduk disebelahku, beberapa orang melirik anak itu dengan simpati karena duduk di sebelahku. Dia memang sempat heran, tapi kemudian berjalan dengan tenang kearahku. Dia menghempaskan dirinya di sebelahku. Aku baru memperhatikan dia mengenakan pita merah di rambutnya yang diikat setengah, tadi depan kelas, aku tidak melihat dengan jelas wajahnya, ternyata dia memiliki hidung mungil yang mancung, bibir yang penuh, mata yang lebar plus poni ratanya, semuanya membuatnya terlihat seperti boneka, yang aneh adalah, warna matanya, kedua mata itu berwarna.. Merah?
Ia lalu menjulurkan tangannya padaku yang lebih tua tiga tahun darinya "Halo, lo udah tau nama gue didepan tadi, tapi gue belom tau nama lo" dia nyengir, dan crap, dia punya senyuman membunuh! "Siapa nama lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hell Queen
RandomSang Ratu Neraka. Sejak kecil, tepatnya saat aku berumur lima tahun, aku sudah menyandang julukan menyebalkan tersebut. Ini semua karena bakat- atau kutukan?- ku. Entah bagaimana caranya, aku memiliki bakat ilmu pyrogenesis; dimana seseorang bisa me...