Kecelakaan

782 39 5
                                        

Alex Purnama.

Aku menyeret Aria dari kerumunan orang itu, berusaha mencari tempat untuk bernafas. Sumpah, sekarang saja aku sudah susah banget bernafas, tempat ini penuh banget, untung saja masih ada fasilitas AC, seandainya tidak ada AC aku yakin banget tempat ini bisa jadi sauna mendadak.

Aku meremas tangan Aria, memastikan dia tidak terpisah lagi. Tadi aku juga sempat terpisah dengan Luki dan Vy, tapi Vy sudah memberitahukan Luki aman bersamanya via SMS dan menyuruhku mengurus Aria. Tidak perlu dibilang juga aku sudah mencarinya diantara lautan manusia itu. Entah kenapa, saat Aria lenyap dari penglihatanku, aku merasa resah banget, semuanya terasa salah. Jadi tanpa dikomando Vy, aku sudah mengelilingi lautan manusia ini, aku sempat ada acara injak menginjak, senggol menyenggol, malah salah mengira beberapa orang sebagai Aria.

Benar-benar menguji ketabahan.

Karena itulah, saat aku menemukannya aku merasa lega banget. Masalahnya, dia cuma sendirian dan seorang cewek, ditambah aku selalu punya perasaan untuk melindunginya, padahal dia sudah berkali-kali menegaskan padaku bahwa dia bukan cewek yang tidak bisa di cari gara-gara. Mungkin karena saat dia sendirian tadi, tubuhnya jadi terlihat kecil dan rapuh, perlu dilindungi supaya tidak pecah berantakan. Kalau tadi saat aku sempat kehilangannya aku merasa semua terasa salah, sekarang saat aku menautkan jariku dengannya, semuanya terasa benar.

Aria membalas pegangan tanganku, membuat jantungku mencelus selama beberapa saat dan membuat mukaku terasa terbakar, begitu juga tangan yang di genggam. Aku mengubris perasaan asing itu dan terus menyeret kami berdua keluar dari kerumunan itu. Setelah akhirnya keluar dari massa itu, rasanya aku bisa kembali menghirup udara segar setelah berbulan-bulan dikurung di ruang tanpa ventilasi. Aku melepaskan tanganku darinya untuk menopangkannya di lututku, walaupun ada sedikit rasa kehilangan karena lepas dari genggamannya yang pas. Aria melakukan hal yang sama denganku.
Setelah beberapa saat, kami berdua belum mengucapkan sepatah kata. Man, keadaan ini canggung banget. Aku berdeham untung memecah keheningan yang itu "Jadi" Aria menoleh padaku "Sekarang apa?" Dia mengalihkan pandangannya dariku, hanya mengangkat bahu dan menggelengkan kepala. Ah sudahlah, lebih baik aku menelepon Vy dan menanyakan keadaannya bersama Luki.

Setelah beberapa nada dering, telefon dariku tak kunjung diangkat juga "Sialan" aku mengumpat pelan. "Kenapa?" Aria akhirnya berbicara padaku pertama kalinya sejak kami menginjak lantai mall ini "Nggak diangkat" jawabku singkat tanpa mengalihkan pandanganku dari ponselku. Sudah berkali-kali aku berusaha menghubunginya, namun hasilnya nihil.

Aku menoleh pada Aria "Sekarang apa?" ulangku. Bagus sekali, sekarang kami seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Kami berdua benar-benar tidak mengenali Senayan, seperti yang sudah kukatakan, aku jarang kesini, dan kurasa hal yang sama berlaku untuk Aria.

Sekarang apa?

Aria tidak menyahut. "Lo masih mau nonton bareng Vy?" "Gue mau sih..." Aria menjawab dengan lesu "Tapi gue gatau dimana bioskopnya" "Sama" Gila, rasanya kami seperti kabayan saja. Aku berpikir sebentar, lalu menggenggam tangannya. Aria membelalak melihat ulahku, sementara aku tidak berani membalas tatapannya "Gini nggak apa-apa kan?" Aku memastikan tindakanku tidak kurang ajar baginya "Gue cuma nggak mau lo tersesat kayak anak itik yang kehilangan induknya tadi" Dia membuka mulutnya, tapi lalu mengatupkannya kembali, dia menggembungkan pipinya, tanda sedang kesal di katai anak itik, alhasil mukanya jadi imut banget. Aku menyeringai. Artinya dia tidak keberatan kugandeng tangannya, yes!

Bisa kurasakan Aria menautkan jari kecilnya pada jariku, dan lagi-lagi, tangannya yang kecil pas dengan tanganku yang besar, genggamannya pas, seolah-olah tangannya dibuat untukku. Aku menarik Aria berjalan menurut instingku "Kita mau kemana, Lex?"
"Ke bioskop"
"Emang lo tau dimana?"
"Nggak"

The Hell QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang