Aria Pierré.
Aku. Sangat. Galau.
Aku tidak mengerti kenapa aku harus loncat ke kelas sembilan ketika aku sudah sangat dekat dengan Lisa. Dia anak yang baik, tapi dia tidak ragu menunjukan sifatnya yang gila. Dia selalu memiliki akal yang tak kusangka terpikirkan olehnya, dia memang nggak tau diri, sama sepertiku, contohnya saja dia pernah mencomot bekalku tanpa sopan santun minta ijin apa kek gitu (tentu saja detik itu juga aku menggeplak dia dengan tutup bekalku, habis, beraninya dia menyentuh makananku!). Dan itulah bagian yang kusukai dan kurindukan darinya.
Aku menghela nafas selagi berbaring di atap sekolah dengan kedua telapak tanganku menopang kepalaku, memandangi birunya langit hari ini yang dihiasi gulali berwarna putih. Kami memang tidak benar-benar hilang kontak, tiap hari kami saling telefon ke tempat tinggal masing-masing karena aku tidak punya ponsel (aku tidak mengerti kenapa Lisa yang masih kelas enam SD sudah memiliki satu, sementara disinilah aku, duduk dengan tampang bloon menatapnya menekan-nekan jempolnya di layar ponsel tersebut) tapi tetap saja aku kangen padanya. Dia teman cewek pertamaku sejak tujuh tahun terkutuk dibawah sana, dan tentu saja Lisa tidak perlu tahu apa-apa mengenai kekuatanku yang bisa saja membakar seluruh sekolah saat ini.
Aku menyalakan sepucuk api di depan mataku, lalu menggoyangkan jari telunjukku seolah-olah aku seorang maestro yang mengontrol jalannya pertunjukan, dan api itu menari-nari dihadapanku. Teman... Sekarang aku mendapat teman baru, namanya Amel.
Dia adalah murid teladan sekolah ini dengan ciri khas selalu dikepang ke samping, membuatnya manis. Kulitnya putih cerah sama sepertiku, tapi putihnya kulitku lebih ke pucat karena terlalu lama tidak terkena cahaya matahari, dan aku ragu dalam waktu dekat akan menjadi warna normal. Dia diponi samping, rambutnya berwarna coklat gelap, tubuhnya langsing gemulai dan kepribadiannya lemah lembut. Aku tahu dia bukan tipe orang yang gemar memasang topeng, karena hal itu terlihat jelas dari auranya. Wajahnya cantik, sama seperti hatinya, wajar saja Amel sudah taken. Nama pacarnya Rio, ketua tim basket sekolah kami, kontan saja mereka menjadi pasangan legendaris, yang satu murid teladan, yang satu ketua tim basket.
Tiap hari Amel akan menceritakan kepadaku tentang Rio, Rio, Rio. Memang lama-lama bosan, tapi caranya menceritakan Rio dengan semu merah di pipinya, senyum lembut yang tersungging, dan sayang yang tulus dari matanya membuatku tahu diri untuk mendengarkannya berceloteh tentang pacarnya yang tercinta.
Kurasa ini yang orang-orang ebut sebagai love struck. Aku tidak pernah mengerti dengan konsep jatuh cinta, tapi Maria pernah menjelaskan itu sesuatu yang spesial dan susah dijelaskan dengan kata-kata. Kita hanya merasakannya. Hal yang kutahu tentang cinta adalah; kita peduli.
"Kamu udah makan?"
"Gimana sekolah hari ini?"
"Ambil aja, nanti aku yang bayar."
"Hati-hati dijalan."
"Udah ngerjain PR?"
"Gimana kabar kamu?"
"Pasang topi sana, bakal panas lho."
Ayah mengajarkan orang-orang menyampaikan kasih tidak hanya dengan "Aku sayang kamu", tapi dengan kepedulian di dalamnya. Contohnya saja kata-kata diatas, kita hanya perlu mendengar. Aku mendengarkan, dan aku bahagia aku mendengarnya tiap hari, aku dicintai.
Alex Purnama.
Entah bagaimana caranya nama orang itu muncul di kepalaku. Aku menganggapnya teman, tapi aku ragu dia menganggapku teman. Aku memejamkan mataku, mematikan api yang sedari tadi menari-nari, mengingat kembali awal pertemuan kami.
"Siapa nama lo?" Aku dengan berani menjulurkan tanganku ke orang di sebelahku. Aku memperhatikan dari depan, mencari kursi kosong yang kira-kira akan menjadi tempatku duduk selama satu bulan kedepan, dan rupanya orang ini yang akan menjadi partnerku "Gue Alex Purnama" dia menyalamiku dengan cengiran di wajahnya "Lo nggak takut sama gue?" Dia bertanya padaku, aku memiringkan kepalaku "Buat apa?" Dia mendekatkan bahunya padaku, mungkin untuk berbisik "Kalo gitu lo perlu tau apa yang orang-orang sekitar sini mikir tentang gue" aku balas membisikinya "Don't let other people thoughts define you" Dia menatapku kaget tapi lalu tersenyum "Lo unik, btw kenapa langsung pake gue-elo? Ortu lo nggak ngajarin sopan santun?" Dengan sikap main-main bertanya padaku "Gue benci formalitas" aku dengan santainya menyandarkan bahuku "Dan gue yakin lo juga. Jangan debat sama gue, gue tau lo juga enek sama aku-kamu" kataku sambil mengacungkan jari telunjukku. Dia hanya tertawa, kami pun membicarakan hal lain.
Aku membuka mataku, Alex itu orangnya.. Aneh. Dia punya tampang preman, tapi aura yang dipancarkannya berkata sebaliknya, karena itu aku berani mendekatinya walaupun tampangnya seram. Berbeda dengan murid lain yang menyorakiku saat aku memasuki kelas, dia diam menatapku. Aku mengamatinya dia tidak memiliki teman, seandainya aku tidak duduk disebelahnya hari itu, mungkin dia akan diam di pojokan, tapi entah kenapa masih terlihat kuat. Saat itu juga aku paham.
Dia sendirian.
Aku mengerti perasaan itu, aku mengerti rasanya sendirian, rasanya memuakkan, dan menyedihkan. Dan aku tidak berencana orang lain mengalami hal yang aku alami. Dia juga jahil, tapi tidak jahat seperti gosip yang beredar.
Aku bangkit dari tempatku berbaring dan mengambil tasku, melompati pagar yang sepertinya hanya untuk formalitas, karena tinggi pagar ini hanya sepinggang. Aku pernah mendengar soal murid yang bunuh diri dari sini, tapi kurasa itu hanya berita bohongan, seandainya ada murid yang benar-benar pernah bunuh diri pasti aku sudah melihat arwahnya. Aku yakin orang yang bunuh diri punya urusan yang belum selesai, hal itulah yang menahan mereka dalam bentuk roh di dunia ini.
Atap sekolah ini kutemukan ketika aku mengelilingi sekolah. Sekolah ini memiliki daya tarik tersendiri, aku pun tertarik. Hal yang aneh dari atap ini dan menarikku kesini adalah, jumlah hantunya makin sedikit taktakala aku mendekati atap. Di atap malah tidak ada hantu sama sekali. Kadang, kita perlu tempat untuk sendirian, tempat yang sempurna untuk menjadi diri kita sendiri, dan kurasa atap sekolah ini sempurna untukku.
Ketika aku berjalan pulang, aku baru sadar ada yang mengikutiku. Kurasa aku hanya kegeeran atau terlalu parno, jadi aku berbelok ke gang yang sempit dan gelap. Seandainya dia memang menguntitku, dia akan tertarik kesini. Dia mengikutiku juga ke gang gelap itu.
Keringat dingin mulai membasahi pelipisku. Sudahlah Aria, mungkin dia memang searah denganmu atau kalau dia memang penguntit kamu hanya perlu menghabisinya dengan apimu.
Tapikan kamu nggak boleh pake api kamu seenak jidat. Ingat, hal itu yang bikin kamu dikurung selama tujuh tahun.
Suara dari dalam kepalaku menyahut. Ah, sialan, sekarang bagaimana aku menghabisi orang ini? Dasar tolol, kenapa pake pancing-pancingan segala? Gang gelap ini tempat sempurna untuk melakukan kejahatan apapun, termasuk memperkosa.
Aku terlonjak kaget saat tangan kasar orang itu memegang bahuku.
Persetan dengan kekuatanku-harus-disembunyikan, lebih baik dikurung lagi daripada aku mati!
Aku menyentakkan bahuku, berbalik menghadap orang itu dan mengepalkan tinjuku, hendak membakar tinjuku dengan apiku, lalu menghabisi rahang orang itu. Tapi, niatku langsung padam saat melihat wajah orang itu.
"Alex?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hell Queen
RastgeleSang Ratu Neraka. Sejak kecil, tepatnya saat aku berumur lima tahun, aku sudah menyandang julukan menyebalkan tersebut. Ini semua karena bakat- atau kutukan?- ku. Entah bagaimana caranya, aku memiliki bakat ilmu pyrogenesis; dimana seseorang bisa me...