Kasih ⭐ dulu gessss
Komen sebanyak-banyaknya"Pahlawan tidak harus selalu dilihat dan diakui oleh umum."
"Ini kuncinya, Nona."
"Iya."
"Kalau begitu saya pamit, Nona."
"Besok gantikan Helena jemput," ucap Awa.
"Baik."
Awa masuk ke dalam rumah. Jeon keluar dengan santai dan kemudian menutup pintu gerbang rumah Awa. Wajahnya yang datar langsung berubah cerita.
Jeon berteriak tanpa suara saking senangnya. Jika Jeon terlihat kesenangan di rumah, bisa-bisa diceramahi kak Fras. Jantung Jeon berdetak lebih kencang membuat wajah putihnya memerah.
Berbanding terbalik dengan Jeon, Awa langsung masuk ke kamar dan berbaring di ranjang.
"Kali ini nggak setakut dulu," gumam Awa.
Awa memejamkan matanya sambil memikirkan perubahan yang terjadi. Mungkin karena Jeon tadi membantunya di minimarket, secara tidak sadar Awa tidak terlalu mewaspadai Jeon seperti pertama kali.
Ada sebuah harapan, mungkin tidak dalam waktu dekat, tapi Awa yakin apa yang menghantuinya selama ini akan segera hilang.
Awa bangun lebih awal hari ini. Setelah mandi, Awa turun ke bawah. Para pekerja sudah mengisi rumahnya.
Aroma masakan tercium menuntunnya menuju dapur.
"Selamat pagi, Nona!" Sapa semua pekerja.
"Pagi."
Biasanya Awa hanya memakan apa yang sudah tersaji di meja makan, itu juga dengan suhu yang sudah turun. Awa merindukan mencicipi masakan yang masih berada di atas kompor seperti saat bundanya masih ada dulu.
"Masak apa?" Tanya Awa.
Seorang pelayan yang sedang mengaduk sup di panci mebungkuk sebentar.
"Sup, Nona."
"Nona ingin mencoba sedikit?" Sambungnya.
"Iya."
Pelayan tersebut memberikan sendok berisi air sup pada Awa.
Rasanya beda sama buatan bunda. Tapi masih tetap enak.
"Bagaimana? Apa Nona menyukainya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Black (END)
Teen FictionJANGAN MENILAI BUKU DARI SAMPULNYA Kalian termasuk tim yang mana? 1.Membaca sebuah cerita hanya menurut cover dan jumlah pembaca 2.Membaca cerita tanpa memandang cover dan jumlah pembaca Jika anda mengaku menjadi bagian dari tim dua, coba baca dulu...