9th Point

10K 1.4K 18
                                    

Kemeja hitam masih setia memeluk tubuh Andra seiring kakinya yang melangkah gamang memasuki rumah berlantai dua di hadapannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kemeja hitam masih setia memeluk tubuh Andra seiring kakinya yang melangkah gamang memasuki rumah berlantai dua di hadapannya. Matanya menjelajah seluruh penjuru dengan perasaan ragu yang tidak bisa ia jelaskan. Sementara, tangan kanannya memegang paper bag yang berisi kacamata untuk diberikan kepada papanya.

Tanpa repot-repot menekan bel yang ada di samping pintu, Pak Cahyo--sopir pribadi papanya--sudah membukakan pintu untuknya setelah sebelumnya juga telah membukakan pagar.

Lelaki itu menghela napasnya panjang. Ia masih belum terbiasa dengan perhatian yang seharusnya bisa ia lakukan sendiri. "Terima kasih banyak, Pak."

"Silakan masuk dulu, Mas. Bapak sudah nunggu di dalam."

Andra hanya mengangguk sebagai jawaban. Lelaki itu lantas mengayunkan kaki menuju ruang tengah. Namun, alih-alih disambut oleh papanya, ia justru mendapat sapaan hangat dari Mbak Wati--asisten rumah tangga papanya. Papa Andra memang memiliki sopir pribadi dan asisten rumah tangga yang membantunya mengurus keperluan di rumah. Urusan pekerjaan yang terlampau banyak membuat pria itu memilih mempercayakan kebutuhan rumah kepada dua orang tersebut.

"Malam, Mas. Silakan duduk dulu. Bapak masih di ruang kerja. Saya panggilkan dulu, yo."

Andra mengangguk singkat dan langsung berdecih tatkala Mbak Wati telah meninggalkannya seorang diri di ruang tengah. Ia merasa dirinya tidak utuh dan asing berada di sini.

Alih-alih berjalan menuju sofa untuk duduk seperti yang dikatakan oleh Mbak Wati, lelaki bermanik pekat itu menghentikan langkah karena tanpa sengaja matanya menangkap keberadaan sebuah pigura di atas meja. Seorang laki-laki kecil yang sedang tersenyum menghadap kamera. Potret dirinya saat berulang tahun yang ke tujuh.

Ujung bibirnya tertarik, membentuk senyuman sedih. Waktu seketika berjalan lambat, hingga Andra tidak sadar pria yang sedarah dengannya itu telah berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan raut yang sama sekali tidak bisa ia mengerti.

"Selamat pulang, Nak," sapanya seraya berjalan mendekat.

Dalam hati, Andra tidak membenarkannya. Sekuat apa pun ia mencoba, lelaki itu masih belum bisa menerima jika tanah yang ia pijak sekarang disebut rumah.

Akan tetapi, lelaki berkemeja hitam itu pun memilih melangkah mendekat dan mengulurkan paper bag yang telah ia bawa. "Selamat ulang tahun, Pa."

Sultan menarik kedua sudut bibirnya ke atas hingga membentuk sebuah senyum asimetris. Ucapan singkat yang diberikan oleh anak satu-satunya itu terdengar sangat tulus masuk ke telinganya.

"Makasih banyak ya, Nak. Yuk, langsung makan. Udah laper, 'kan?"

Andra mengangguk sambil tersenyum tipis, lalu mengekor sang papa yang terlebih dahulu melangkah ke meja makan.

Beberapa waktu berlalu, saat keduanya telah duduk berhadapan di meja makan dan menyuap makanan masing-masing, Sultan terlebih dahulu membuka suara untuk memecah keheningan yang melingkupi mereka.

Meeting Point (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang