10th Point

10K 1.5K 69
                                    

2016

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

2016

Bibirnya terangkat ke atas dengan sempurna tatkala melihat lelaki yang berusia tiga tahun lebih tua darinya itu melenggang memasuki rumah setelah menyambut kepergian beberapa temannya.

"Mas ... Mas ...." Zahra mengekor di belakang kakaknya sambil sesekali meloncat.

"Hm?"

"Hmm ...." Zahra mengulum bibirnya sekilas, seolah menahan malu. "Tadi yang pakai baju hitam duduk di samping Mas namanya siapa? Yang dimple-nya bikin Zahra meleleh dalam sekali lihat pokoknya."

Ucapan yang lolos dari mulut Zahra sontak membuat Wira menghentikan langkahnya. "Hah?"

"Hah, hah, mulu, kayak jualan keong! Jawab dulu, Mas. Namanya siapa?" Zahra masih bersikeras bertanya. Kali ini, gadis itu sambil menaik turunkan alisnya yang membuat lelaki di depannya mendengus.

"Aldias." Setelah Wira melihat Zahra mulai menyunggingkan senyum, lelaki itu kembali bertanya, "Kenapa?"

Zahra mengejap, lalu tersenyum kaku. "Nggak apa-apa, penasaran aja."

"Suka?"

Alih-alih merasa malu karena yang ia pikirkan diketahui oleh sang kakak, Zahra justru menganggukkan kepala mantap. "Iya! Bagi WhatsApp-nya, dong, Mas! Please ...."

Dahi Wira berkeruh hebat. Ia kini telah memutar tubuh menghadap Zahra dengan ekspresi seolah menahan kesal. "Dek, dengerin Mas baik-baik, ya ...."

"Oke, berapa? Kosong ... delapan ... terus?" Dengan senyum lebar yang masih tertaut di bibirnya, Zahra mengalihkan pandangan dari ponsel.

"Adek sekarang masuk kamar, terus ngaca. Kira-kira cocok nggak kalau mau deket sama Aldias? Adek, kan, jelek, cupu, dekil lagi! Mana mungkin, sih, Aldias mau sama kamu," kata Wira enteng sambil sesekali tersenyum meremehkan. "Kalau Mas jadi Aldias, udah langsung Mas blokir, sih. Kamu, tuh, bukan cewek idaman! Enggak mungkin ada cowok yang mau sama kamu. Najis!"

*****

"Enggak mungkin ada cowok yang mau sama kamu. Najis!"

Kumpulan kata itu masih memenuhi kepala tatkala Zahra telah menjatuhkan kakinya di peron stasiun. Dengan pandangan yang kosong, ia terus mengayunkan kaki menuju pintu keluar. Tepat saat hawa luar stasiun mulai menyambutnya, ponsel yang ada di sakunya tiba-tiba bergetar dan membuatnya mengejap.

"Za, hadap depan coba," sahut seseorang di telepon setelah Zahra menekan ikon hijau.

Zahra mendongak. Matanya menangkap sosok lelaki berkaus hitam yang melekat di tubuhnya dengan apik. Gadis itu menarik sudut-sudut bibirnya ke atas dan mendekat. "Kok, enggak bilang mau jemput?"

Meeting Point (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang