16th Point

8.2K 1.3K 66
                                    

2017

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

2017

Nyatanya kejadian yang menimpa Zahra belum cukup membuat Wira dilanda rasa sesal. Sebab, tatkala sebuah kabar duka yang menimpa sahabatnya sampai ke telinga Wira, lelaki itu semakin merapal kata maaf dan penyesalan yang teramat dalam.

Aldias Dwiky Bagaskara tepat pukul 22.35 WIB pada 14 Juli 2017 telah dinyatakan meninggal dunia.

Wira ingin menyangkal semua fakta yang ia dapatkan malam itu, tetapi urung. Ia sama sekali tidak bisa melawan takdir Tuhan. Terlebih tatkala esok harinya ia melihat adik perempuannya kembali membuka mata dan ditambah kabar jika orang tua Aldias bersedia mendonorkan mata Aldias kepada Zahra membuat Wira tidak mampu lagi berkata-kata.

Segala racauan penyesalan dan keinginan untuk menggantikan nasib keduanya sia-sia. Lelaki itu mungkin hanya akan dihantui rasa penyesalannya seumur hidup.

Maaf, Dek ... Maaf, Al.

Sepanjang operasi berlangsung, Wira hanya mampu mengusap punggung bundanya yang menangis di dadanya. Entah bagaimana melihat bundanya menangis penuh emosi tanpa meluapkan kekesalan pada dirinya--yang mengabaikan dan tidak bisa menjaga Zahra--membuat Wira tidak mampu lagi menahan air matanya.

Di dalam saku jaketnya, ada sebuah surat yang kini sudah kusut padahal orang yang seharusnya memiliki hak untuk membaca masih berjuang di dalam ruangan sana untuk bisa melihat kembali.

Terlalu banyak hal yang sudah ia abaikan selama ini hingga tidak menyangka Wira akan kehilangan semua kesempatannya dengan cepat.

Tatapan Wira yang fokus pada layar ponsel lantas beralih tatkala Aldias mulai menyodorkan sebuah amplop biru kepadanya.

"Apaan, nih?"

"Lo yakin nggak mau bantuin gue padahal cuma gerak tangan doang sambil mingkem? Lo nggak perlu ngomong apa-apa. Gue udah bilang sendiri di sana."

Wira berdecak. "Ngapain, sih, lo?"

"Hujat aja terus! Yakin, nih, lo sohib gue? Tega banget lo sama temen sendiri. Ayolah, Wir. Sekali ini aja," ucap Aldias penuh harap.

Wira mendengus. "Gue nggak habis pikir lo suka sama adik gue, tuh, lihat dari mananya, Kambing? Nggak ada menarik-menariknya juga."

"Oh, ya? Itu pandangan lo kan yang kayak gitu? Itu sama halnya waktu gue ngelihat Syaila. Lo lihat menariknya dia dari mana, sih?" Aldias menjawab ucapan Wira dengan menyelipkan kalimat-kalimat sarkas.

Sesuai dugaan Aldias, Wira langsung menatapnya tajam. Ia tidak terima kekasihnya diseret ke obrolan mereka kali ini. "Buta ya lo?"

"Buat apa, sih, cari cewek yang cantik? Bukannya lebih penting personality-nya?"

"Lo ngomong gini seakan-akan lo tahu personality-nya Zahra," sahut Wira sambil tersenyum miring.

"Zahra selama ini nurut sama omongan lo. Nurutin kalau nggak boleh masuk ke teritori lo waktu kita kumpul di rumah lo. Dia anaknya sopan dan nggak lancang sama sekali. Itu cukup buat gue nyimpulin kalau dia anak baik-baik dan personality-nya bagus," ucap Aldias final sembali membuka tangan Wira secara paksa dan meletakkan amplop yang ia bawa di sana.

Meeting Point (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang