Unbonded - 3

1.7K 188 6
                                    

Gulf melapisi pakaiannya dengan hoodie biru dongker kesukaannya, ia bahkan merapikan rambutnya sedikit sebelum beranjak keluar dari rumah. Padahal hanya bertemu dengan Mew, yang notabene nya datang tiba-tiba tanpa janji. Dan jangan lupa, Mew adalah sosok yang sempat membuatnya kesal. Bukan hanya 'sempat' tapi 'masih' membuatnya kesal.

Mew bersandar pada city car hitam miliknya, pakaiannya masih lengkap dan sama seperti tadi, sambil terus memperhatikan jam di lengan tangannya. Melihatnya, Gulf hanya menggelengkan kepala tidak percaya. Mew datang tiba-tiba ke rumahnya, tapi juga nampaknya terburu-buru untuk pergi.

"Ada apa?" tanya Gulf. Ia berdiri di samping Mew, ikut mengintip ke arah jam yang ditatap terus menerus oleh Mew. Terkejut dengan Gulf yang hadir tiba-tiba, kantung di tangan Mew hampir saja melayang ke udara.

"Kamu ngagetin." Mew berpura-pura merapikan setelannya, menutupi dirinya yang kebingungan menyusun kalimat untuk menghadapi sang tunangan. Untuk menutupi kebingungannya pula, ia memperhatikan Gulf dari atas hingga ke bawah, kembali mengundang rasa kesal pada Gulf.

"Kamu ngapain sih? Ngapain ngeliatin aku kayak gitu?" kesal Gulf, tangannya ia silangkan di depan dada. Laki-laki itu kemudian berdecak kecil, "kalau kamu mau nge-judge baju atau apapun yang aku pakai, kenapa nggak kamu lakuin di toko tadi?" Gulf menatap Mew kesal, dengan tangannya yang masih setia tersilangkan di depan dada.

"Kamu masih marah soal itu?" tanya Mew. Berusaha tidak ciut setelah merasakan aura menyeramkan yang Gulf keluarkan, walaupun akhirnya ketakutan juga.

Dahi Gulf berkerut mendengar pertanyaan itu, alis tebal nya saling bertaut. Dalam pandangannya saja sudah mengatakan banyak hal, tidak perlu membuka mulut pun harusnya lawan bicara sudah tahu. "Menurutmu?" Nadanya tidak terlalu tinggi, tidak berteriak, tidak juga diucapkan dengan lantang. Tapi, sukses membuat Mew semakin ciut.

Mew menganggukkan kepalanya pelan, 'oh' kecil lolos dari bibirnya. Kantung di tangannya ia sodorkan, menatap lurus ke arah Gulf.

"Ini apa?" tanya Gulf. Ia meraih kantung itu dari tangan Mew, mengintip isinya dari celah kecil di atas.

"Permintaan maafku."

"Untuk yang tadi?"

"Iya, untuk yang tadi." Mew menggaruk tengkuknya, yang sama-sekali-tidak-gatal. Ia menggaruknya karena bingung, gugup, dan ragu untuk berkata-kata lagi. "Aku tau, dan aku sadar. Kata-kataku tadi menyinggung, dan yang aku lakukan salah. Aku minta maaf."

Gelak tawa terdengar hingga ke dalam rumah Gulf, ia seperti tidak percaya akan apa yang baru dilakukan oleh tunangannya. Meminta maaf? Laki-laki arogan, perhitungan dengan waktu, dan menyebalkan itu meminta maaf kepadanya? Tolong katakan ini mimpi.

"Serius? Kamu lagi minta maaf?" tanya Gulf, sambil terus berusaha menahan tawanya.

"Menurutmu?" Terdengar berani, namun Mew semakin ciut melihat reaksi Gulf, gambaran di kepalanya dan apa yang sebenarnya terjadi berbanding seratus delapan puluh derajat.

Benar kata orang, ekspektasi tak seindah realita. Kalau Mew pikir Gulf akan memaafkannya kemudian memeluknya, kini rasanya pikiran itu sangat memalukan. Amat sangat memalukan.

Tapi, semakin ciut pun, tidak mengurangi arogan dan rasa percaya diri laki-laki itu. Walaupun hanya setitik, masih ada rasa percaya diri yang tersisa, bahwa; Gulf akan memaafkannya.

"Ya, baguslah kalau kamu inisiatif untuk minta maaf." Gulf memberi ibu jarinya kepada Mew, memuji laki-laki itu. Namun sekejap kemudian, tangannya kembali terlipat rapi di depan dadanya. "Terus kamu pikir satu minta maaf aja cukup?"

Kalimat pertama berhasil membuat tingkat kepercayaan diri Mew naik, dan kalimat kedua berhasil menjatuhkannya kembali. "Maksudmu?" tanya Mew bingung. Ia tidak ingat melakukan kesalahan lain selain tadi siang, sama sekali tidak.

Unbonded. || MewGulfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang