"Kenapa kamu mau nikah sama aku, Mew?"
Pertanyaan itu dapat memanipulasi jantung Mew untuk berdetak lebih lambat, bahkan seakan-akan telah berhenti berdetak.
Pertanyaan itu terasa tidak memungkinkan untuk dijawab. Karena pada dirinya sendiri ia tidak pernah bertanya mengenai hal itu.
Ia tidak pernah berpikir dua kali tentang apapun itu yang diminta kedua orang tuanya, termasuk menikahi Gulf.
Latar belakang pernikahan yang menguntungkan kedua pihak, menjadi pendukung kuat Mew mengiyakan permintaan tersebut. Kenapa harus ditolak kalau pada akhirnya kekuatan yang digenggam dirinya dan keluarganya bertambah?
Bibirnya sempat terbuka, hendak menjawab pertanyaan tersebut. Walau kemudian kembali tertutup, bingung.
Aneh rasanya – kalau ia mengatakan dengan gamblang bahwa kekuasaan dan kekayaan menjadi sebab dibalik pernikahan mereka.
Rasanya tidak etis.
"Sedangkan kamu masih punya hubungan sama Puim - sedangkan kamu masih jadi pacar Puim, kenapa?"
Tidak. Semakin lama pertanyaan Gulf semakin sukar untuk dijawab. Mew tidak bisa menjawabnya tanpa melukai satu pihak, bukankah begitu?
Nampaknya karena Mew yang terlalu lama terdiam, membuat Gulf melontarkan pertanyaan selanjutnya. "Pertanyaannya terlalu sulit, ya?"
Kalau memang harus dijawab, memang iya. Pertanyaannya sulit.
"Gini deh, aku kasih yang lebih mudah." Kelegaan kecil timbul di hati Mew ketika mendengarnya. "Kenapa sih, kamu nggak putusin hubungan sama Puim dulu sebelum kita nikah? Ha?"
Oh Tuhan. Bukannya bertambah ringan, malah semakin sukar pertanyaan yang diberi Gulf. Keringat dingin yang melambangkan kepanikan Mew itu menetes menuruni pelipisnya.
"Aku..." Mew berucap ragu, mengambil jeda sejenak untuk menelan ludahnya. "...aku takut Puim sedih." Sejujurnya, yang terucap itu hanyalah satu dari banyaknya jawaban yang melintas di pikirannya. Jawaban yang sekiranya dapat memberi kepuasan untuk Gulf, menurutnya.
Gelak tawa ironi terdengar dari Gulf yang berada di sisi lain meja. Tawa menggelegar yang berhasil membuat Mbak Sarmi, bahkan Mew menciut ketakutan. Yah, semakin takut tepatnya.
"Takut dia sedih katamu?" tanya Gulf, dengan tawa yang masih berkelanjutan, serta tepuk tangan sarkas yang mengiringi. "Good job Mew! Yang kamu lakuin malah kebalikan sama yang kamu omongin, tau nggak?"
"Bukannya dia bakal lebih sedih kalau tau nya sekarang?!" pekik Gulf, suaranya menggema dalam ruangan itu. "Bukannya Puim bakal lebih sedih kalau semisal kamu, pacarnya, yang ldr satu tahun, yang udah bareng dari lama, ternyata nikah tanpa kasih kejelasan hubungan?!"
Sedikit terengah-engah Gulf mengatakan, hampir tidak mengambil jeda mengutarakan kekesalannya. Wajahnya memerah, bersungut-sungut amarahnya. Mew yang menatapnya lurus tanpa perasaan bersalah itu seperti batu bara yang terus ditambahkan ke dalam pembakaran, semakin menyulut api di dalam tubuhnya yang menyebabkan murka.
"...kami juga lost contact," ungkap Mew, di diamnya Gulf.
"Oh!" Gulf yang awalnya duduk, kini berdiri. Badan condong ke arah Mew, ia menarik dasi yang mengalung di leher laki-laki itu. Ditariklah Mew olehnya, semakin dekat jarak keduanya. Menambah ketegangan dalam ruang makan. "Itu alasanmu sekarang? Ha?"
"Yang namanya orang pacaran, kalau lost contact bukannya bakal berusaha menghubungi pakai cara apapun? Memangnya kalian nggak tukeran sosmed? Email? Ha?" Gulf mengeratkan genggamannya pada dasi hitam dengan corak garis-garis putih milik Mew, membuat napas laki-laki itu sedikit sesak. "Dan kamu itu orang kaya, Mew. Memangnya nggak bisa, ya? Susul ke Melbourne atau apa gitu? Alasanmu aneh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbonded. || MewGulf
FanfictionPernikahan tanpa cinta, akankah berakhir bahagia? * * * Walau terlihat kokoh, punggung itu sebenarnya rapuh. Dan walau terlihat tegas, nyatanya ia tidak lebih dari manusia lemah yang berlindung dibalik segala pedihnya hidup yang ia rasakan. Masa lal...