Melihat warung kaki lima, yang terletak di pinggir jalan dengan deru mobil yang berlalu-lalang di sekitarnya membuat Gulf menyerngitkan dahinya. Ia menarik sedikit celana hitamnya yang hampir menyentuh genangan air di aspal, dengan resah pula ia memperhatikan sekelilingnya yang berbanding 180 derajat dengan restoran yang sering ia kunjungi.
"Ayo duduk sini," ajak Mew, yang sudah duduk nyaman di dalam tenda warung kaki lima tersebut. Ia menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya.
"Bener disini?" Gulf bertanya ragu, memandang Mew dari jauh.
"Iya, disini."
Ia [Gulf] duduk, disamping Mew, sedikit terganggu dengan bau menyengat yang menguar dari selokan disampingnya. Hidungnya ia sumbat dengan kedua jari, membuat gestur tidak nyaman.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Mew, menoleh ke arah Gulf yang kini sibuk menepuk nyamuk yang hinggap di kulitnya.
"Apa aja, terserah, aku nggak ngerti."
"Minumnya mau apa?"
"Iced tea."
Makanan dengan cepat tersaji, dan ya-- masih terlihat asing di mata Gulf. Ia kini melirik kesana kemari, mencari sendok, garpu, sumpit, atau apapun itu yang bisa membantunya makan. Dan-- tidak menemukan satupun.
"Sendoknya mana?" Gulf menoleh ke arah Mew, mendapati sang suami yang menatapnya dengan senyum geli. "Kenapa senyum gitu?"
"Makan pakai tangan," ucap Mew, menunjuk ke kedua telapak tangan Gulf.
Gulf mengerjapkan matanya cepat. "Nggak lucu." Matanya kembali menari kesana kemari.
"Soalnya aku nggak bercanda. Makannya memang pakai tangan." Kini Mew menunjuk ke meja lain, "Tuh." Telunjuknya mengarah pelanggan lain yang sibuk menyuapkan makanan ke dalam mulut mereka menggunakan tangan.
"Nggak mau," tolak Gulf langsung. Ia menggelengkan kepalanya cepat. "Nggak mau makan pakai tangan. Jorok," tambahnya.
"Coba aja dulu." Dengan lihai Mew menyuapkan nasi, beserta lauk serta sambalnya ke dalam mulut. Mengunyahnya, kemudian menelannya. "Enak kok." Ia mengacungkan jempolnya.
Gulf menyentuh nasi di piringnya dengan ujung jarinya, ragu-ragu. Ia kembali melirik ke arah Mew, memperhatikan cara laki-laki itu makan dan mencoba untuk menirunya. Walaupun gagal, bulir nasi berjatuhan di bajunya, buru-buru ia membersihkannya dengan tisu yang tergeletak di meja. "Nggak bisa," keluhnya.
"Tapi enak, kan?"
"Nggak tau. Nggak ada yang masuk ke mulut."
Mew tertawa kecil, gemas melihat pipi Gulf yang menggembung. Ia membantu Gulf, membuat kepalan nasi kecil di tangannya, menambahkan lauk serta sambal di atasnya. "Buka mulutnya," perintah Mew.
Gulf menurut, membuka mulutnya lebar-lebar dan membiarkan Mew menyuapinya. Rasa pedas dari sambal yang Mew tambahkan itu menyengat lidah Gulf, matanya langsung terbuka lebar dengan tangan yang sibuk mencari minuman. "Pedes," keluhnya lagi setelah menelannya dengan susah payah. Buru-buru Gulf menegak es teh yang Mew pesankan tadi, berharap agar rasa pedas di mulutnya cepat hilang.
"Jadi nggak mau pakai sambal?"
"Nggak."
"Oke. Tempe mau?"
"Tempe itu yang mana?"
Mew menunjuk lauk yang berbentuk persegi panjang, dengan bulir kedelai yang terlihat jelas. "Ini namanya tempe." Jari telunjuknya bergeser untuk menunjuk lauk berbentuk kubus dan berwarna kuning keemasan. "Kalau ini tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbonded. || MewGulf
FanfictionPernikahan tanpa cinta, akankah berakhir bahagia? * * * Walau terlihat kokoh, punggung itu sebenarnya rapuh. Dan walau terlihat tegas, nyatanya ia tidak lebih dari manusia lemah yang berlindung dibalik segala pedihnya hidup yang ia rasakan. Masa lal...