Bisa gila dirinya lama-lama. Berjalan kesana kemari di depan kamar yang semalam ia tempati sendirian, tanpa sosok keras kepala yang berbaring di sebelahnya.
Kepalanya hampir pecah akibat resah. Penyebabnya, tak lain dan tak bukan adalah pintu kamar yang terbuka lebar. Tidak pernah sekalipun ia membiarkan pintu itu terbuka, selalu tertutup, baik saat ia ada di dalamnya ataupun saat ia hendak meninggalkannya. Seingatnya juga, pagi tadi sebelum turun ke ruang makan, pintu itu masih tertutup?
Semakin resah laki-laki itu dibuat ketika mendapati pintu lemari yang sama-sama terbuka. Terbuka lebar, mengekspos isinya. Isi yang... kosong.
Yah, pakaian dan barang-barang miliknya memang masih ada, namun... kemana perginya semua pakaian milik Gulf?
Lupakan soal itu, sosok pemilik pakaian yang menghilang bahkan tidak dapat ditemukan di setiap sudut rumah. Mbak Sarmi yang menetap di lantai bawah pun tidak tahu kemana perginya sosok satu itu.
Kepala ia benturkan pada tembok putih yang tidak mengucapkan sepatah katapun, tidak ikut mengambil peran pula dalam masalah yang membuat kepalanya nyaris pecah.
"Sial... Kanawut," umpatnya pelan, menggigiti kuku jarinya yang pendek. Kebiasaan buruk yang tak pernah hilang sejak bertahun-tahun lamanya.
Gelisah mendominasi, rasa takut menggerogoti. Entah apa yang membuatnya begitu gegabah pagi tadi, namun yang jelas sekarang ia menyesali.
Mew menyesali semua yang telah terjadi. Terlebih lagi pagi tadi.
* * *
Ia tiba, di depan rumah yang diniati untuk jauhi selamanya. Walau di dalam tinggal sosok penyayang, tak henti-henti menantikan dirinya untuk kembali datang.
Tinggal pasangan lanjut usia di dalamnya, yang menyayangi cucu-cucunya sama rata.
Gulf berdiri di depan pintu, mengumpulkan segenap kekuatan untuk mengetuk pintu. Merasa tidak tahu diri, muncul lagi setelah tidak pernah memberi kabar bertahun-tahun lamanya.
"Masuk saja, Raden," ucap tukang kebun kakeknya, muncul dari balik semak-semak yang sedang ia rawat. "Eyang kakung ada di taman belakang."
Masih berdiam diri di tempat, Gulf hanya memandang pintu di hadapan. Bernostalgia kecil sebelum meraih gagang pintu tersebut. "Makasih, Mas," balasnya.
Namun, tanpa perlu Gulf repot-repot menggerakkan tangan, gagang pintu kuno tersebut sudah bergerak dengan sendirinya. Perempuan yang sekiranya berusia lima puluh tahun lebih menyambutnya dibalik pintu, tersenyum lebar dan hangat.
Berbanding seratus delapan puluh derajat dengan ekspresi perempuan tersebut, Gulf hanya tersenyum canggung. "Selamat pagi, Oma," ia menyapa, setengah hati mengucapkannya.
Satu-satunya alasan dibalik dirinya yang 'malas' datang ke rumah kakeknya dan memberi kabar kepada sosok itu adalah... perempuan yang ada di hadapannya. Separuh jiwa ia membencinya, hampir keluar isi perutnya ketika memanggil perempuan itu 'Oma'. Tidak rela menyematkan panggilan sakral tersebut pada perempuan yang masih ia anggap asing.
"Selamat pagi juga, Kana...?" Bahkan memanggil nama 'cucu' nya sendiri seakan-akan ragu, seperti lupa nama sang lawan bicara. Gulf membenci hal itu.
Mereka tidak memiliki hubungan darah, tidak sama sekali. 'Oma' ini menikah dengan kakeknya tidak lama setelah Neneknya pergi -- kembali menyatu dengan butala.
Seperti tidak memiliki hati, 'Oma' menggantikan posisi nenek di keluarganya saat kedudukan tersebut baru kosong kurang dari dua bulan. Alasan terkuat mengapa kata 'benci' bergema dalam hatinya kapanpun wajah 'Oma' ini terbayang di benaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbonded. || MewGulf
FanfictionPernikahan tanpa cinta, akankah berakhir bahagia? * * * Walau terlihat kokoh, punggung itu sebenarnya rapuh. Dan walau terlihat tegas, nyatanya ia tidak lebih dari manusia lemah yang berlindung dibalik segala pedihnya hidup yang ia rasakan. Masa lal...