13 Agustus, 2016
"Kenapa kamu nangis?"
Tidak ada jawaban, hanya tetes air mata yang hilir mudik menuruni pipinya.
"Kenapa nangis?"
Masih tidak ada jawaban, dengan kepala yang hanya mampu menghadap ke bawah. Tidak berani mendongak untuk menatap lawan bicaranya,
"Papa tanya, kenapa nangis?"
Ia menggeleng pelan, namun bibirnya tetap bungkam.
Selanjutnya hanya ada tamparan, dengan kerah yang dicengkram erat. "KALAU ORANG TUA TANYA ITU DIJAWAB!" bentak Papa nya, kehilangan kesabaran.
Pipinya langsung memerah, berbentuk cap telapak tangan yang kentara. Sejujurnya, tangisnya itu semakin ingin merembes keluar, namun ia tidak ingin memperkeruh suasana dengan air matanya. Maka bibirnya dikatupkan erat-erat, tidak membiarkan isakan keluar darisana, walau tidak dapat memegang kendali atas tangis yang tetap memaksa keluar.
"JAWAB!" bentak papanya lagi, makin kesal dengan anaknya yang membisu.
Tiga puluh detik berlalu...
Satu menit berlalu...
Hanya hening dan bahu yang sama-sama bergetar. Yang satu akibat menahan tangis, sakit dan ketakutan. Yang satunya lagi akibat marah dan menahan tinjunya agar tidak melayang.
"Mau bikin Papa marah, ya?" Cengkraman di kerah baju anaknya itu dilepas, dihempaskan pula sosok tersebut ke lantai dingin. Dihempaskannya keras hingga menimbulkan nyeri di sekujur tubuh. Anaknya itu dibanting seolah-olah hanyalah seonggok sampah yang tidak lagi berguna.
"Punya anak cowok kok lemah," ucap Papa nya, sebuah sindiran yang timbul akibat kekesalannya. "Ada, kah? Cowok yang nangis?"
"Hah?" Kakinya itu menendang tubuh yang terkulai di lantai, punggung menjadi sasarannya.
"Anak cowok cuma satu, kok jadinya gini." Kali ini ia tendangannya terarah ke perut, sempat membuat anaknya sulit bernapas.
"Papa tanya sekali lagi." Ia berjongkok di sisi anaknya, mencengkram kuat dagu anaknya, ditarik dan diminta untuk menghadap ke arahnya. "Kenapa nangis, Kana?"
Si 'Kana' ini membuka bibirnya perlahan, hendak menjawab. Naasnya, lidahnya tercekat akibat ngilu di sekujur tubuhnya. 'Kana' sulit berucap pula, apapun yang ia coba utarakan, dilarang oleh otak yang mengendalikannya. Ujung-ujungnya hanya isakan yang lagi-lagi lolos.
Asbak yang awalnya ada di atas meja, sudah berpindah ke tangan Papa nya. Bukan sembarang asbak pula, namun asbak marmer hitam yang berat. Dalam sekejap mata benda berbentuk persegi yang penuh dengan puntung rokok itu melayang, mengenai sudut bibirnya.
Puntung rokok yang berada di dalam asbak ikut bertebaran, mengenai kulitnya, memberi warna keabuan disana.
Cara Papa 'Kana' menghukum ini kejam, asisten rumah tangga yang terbangun akibat keramaian itu, serta kakak dan Mama nya hanya sanggup menatap dari jauh. Tidak ingin dijadikan korban selanjutnya.
"Sekali lagi Papa lihat kamu nangis, tidur di gudang kamu."
Ada satu lagi rokok yang terselip diantara bibir Papa nya, dengan ujung yang masih kemerahan. Dengan sengaja benda itu dijatuhkan, mengenai paha 'Kana' yang tidak tertutupi kain dari celana pendek yang ia kenakan.
Rokok itu membakar kulitnya, melukainya dan pastinya menimbulkan bekas. Walau perih dari luka bakar benda tersebut tidak terasa, tersembunyi dibalik rasa sakit lain yang menjalar di tubuh kurusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbonded. || MewGulf
FanfictionPernikahan tanpa cinta, akankah berakhir bahagia? * * * Walau terlihat kokoh, punggung itu sebenarnya rapuh. Dan walau terlihat tegas, nyatanya ia tidak lebih dari manusia lemah yang berlindung dibalik segala pedihnya hidup yang ia rasakan. Masa lal...