"Untuk apa datang kesini?"
"Sekedar berbincang, boleh?"
Tidak ada alasan bagi sosok jelita itu untuk mempersilahkannya masuk dan lubuk hati dipenuhi rasa ingin menolak. Namun, yang keluar dari mulut hanya, "Ayo ke dalam, di luar hujan."
.
.
.
Dua buah cangkir berisi teh hangat, menemani senja tanpa semburat jingganya.
Langit gelap. Sudah terlanjur tertutupi oleh awan kelabu dan tirta yang turun dengan nafsu.
"Memang ada topik tertentu, ya, sampai kamu harus datang ke rumah?" Puim bertanya, menambahkan tawa singkat di akhir kalimatnya.
Yang ditanya – Mew – ikut tertawa. "Ada," jawaban singkat tersebut keluar dari bibirnya.
"Tentang...?" bingung Puim. Ia mengaduk-aduk teh yang berada dalam cangkir, sekalipun gula yang dimasukkan ke dalamnya sudah larut.
Puim hanya... gugup.
"Dia," sahut Mew, berbisik, merapalkan kata yang tidak dapat dipahami dengan mudah. Yah, walaupun Puim dapat langsung menangkap maksud dari satu kata kecil itu.
"Si Dia itu Gulf pasti, kan?"
Dan tepat sasaran pula tebakan itu. Mew mengangguk, lebih dari cukup untuk membuat jantung Puim berhenti sepersekian detik.
"Tapi selain itu juga..." Mew berhenti sejenak, menarik napas panjang. "Aku mau minta maaf ke kamu, Puim."
"Hahaha, untuk apa? Bukannya semua sudah jelas, kemarin?" Tawa sarkastik itu hadir demi menutupi kekecewaan mendalam Puim.
Nama Gulf yang kembali disebut di hadapan, di rumahnya, masuk dan keluar kembali dari dalam telinganya - memercik kekecewaan dalam hati Puim.
Untuk apa ia senang bahwa Mew 'kembali' padanya, kalau itu semata membicarakan orang yang membawa Mew pergi darinya?
"Untuk apa sih, minta maaf? Ya kan? Hahaha," ulang Puim. Sekali lagi, bersifat sarkastik.
"Entah ini terlihat sebagai formalitas semata atau sebaliknya, permintaan maaf untuk kamu ini memang bersifat tulus. Kamu pernah jadi bagian dari hidup aku, pernah juga bikin aku ngerasa uring-uringan dengan semua yang kita lalui bersama dulu," ungkap Mew sejujur-jujurnya.
"Itu kenapa aku ngerasa harus banget minta maaf sama kamu, Puim," lanjutnya. "Karena aku sadar dan aku pun tahu, yang aku lakuin memang ga mudah dimaafin sama sekali, kan?"
Kata 'pernah' yang seakan-akan ditekankan, digaris bawahi dan dilafalkan jelas-jelas membuat Puim ingin menitikkan air matanya.
Perempuan jelita tersebut menelan ludahnya susah payah, tapi takut malah mulai terisak ketika ia melakukannya. "Itu semua sudah berlalu, aku udah berusaha lupain kok," ia mengelak, tidak ingin setuju dengan alasan yang dijabarkan oleh Mew.
"Ya, memang sudah berlalu. Tapi-" Pembelaan Mew disela oleh Puim.
"Yang namanya 'tapi' udah nggak ada, Mew, emang udah berlalu."
"Iya, aku tahu. Tapi setidaknya-"
"Kalau kamu mau bahas Gulf, bahas dia aja. Jangan ganti topik ke hubungan kita."
Kini – canggung. Dan yang diucapkan Puim tidak salah.
"Oke. Bahas Gulf, ya," simpul Mew, merasa memang itu yang diinginkan Puim. "Kalian memang dekat, sebelumnya? Kok aku nggak pernah tau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbonded. || MewGulf
FanfictionPernikahan tanpa cinta, akankah berakhir bahagia? * * * Walau terlihat kokoh, punggung itu sebenarnya rapuh. Dan walau terlihat tegas, nyatanya ia tidak lebih dari manusia lemah yang berlindung dibalik segala pedihnya hidup yang ia rasakan. Masa lal...