"Sekarang apa yang akan Tuan lakukan?" tanya Anya, ikut resah melihat Bos yang sudah seperti anaknya sendiri itu. Bosnya itu sedang kebingungan, sedang bimbang.
Yah- walau nyatanya tidak hanya Mew yang dibuat bingung oleh kedatangan Puim, namun juga Anya. Anya Yang paham betul sejarah keduanya, yang menyaksikan semua, yang tahu bagaimana awal hingga akhir dari kisah keduanya -- bisa disebut begitu.
"Saya tidak tahu, Anya. Beri saya waktu berpikir juga," penat Mew, memijat pelipisnya. Ia tidak bisa berfokus pada lebih dari satu masalah, ia masih belum bisa. Biarlah pekerjaannya hari itu terbengkalai, laki-laki ini lebih memikirkan masalah lain yang telah berhasil mengacaukan otak cerdasnya.
"Tuan tidak boleh gegabah," tegas Anya. Ia sudah memikirkan segalanya, perasaan Mew, serta segala kemungkinan yang dapat terjadi. Yang berakhir baik... juga yang tidak berakhir dengan baik. "Nona Puim memang sudah kembali, tapi tolong ingat bahwa kini status Tuan sudah tidak lagi sama."
Dapat terdengar Mew mengerang pelan, sembari mengacak-acak rambutnya yang tertata rapi frustrasi.
Sedikit terhenyak hati Anya melihatnya, tidak tega melihat Bosnya.
"Tuan Suppasit sudah menikah, tolong ingat hal itu," sambung Anya, menekankan tiap katanya, sekalipun rasa tidak tega itu masih ada.
Kalimat terakhir wanita itu malah membuat kepala Mew hampir pecah, hampir meledak. Merasa dirinya brengsek, menyesali keputusannya.
Bukan. Mew bukan menyesali keputusannya menerima pertunangan dengan Gulf, ia paham betul alasan dibalik kejadian itu. Namun ia menyesal tidak langsung menjelaskan pada Puim... bahwa sudah tidak ada lagi kata 'kita' diantara mereka berdua.
Bukannya kalau ia jelaskan langsung... Puim tidak akan terlalu menderita dengan rasa sedihnya?
Bukannya kalau ia jelaskan langsung... itu tidak akan terlalu melukai perasaan Puim?
Harusnya Puim bisa paham dengan keputusannya dan keluarganya, kan? Karena... Puim yang ia kenal memang begitu.
Melihat Mew yang diam... Anya menghembuskan napasnya berat. Dibanding memikirkan perasaan Puim, mantan kekasih Mew, Anya lebih memikirkan Gulf. Sosok yang memang merepotkan, sedikit menyebalkan, namun periang dan lucu. Anya lebih memikirkan pasangan Mew sekarang, bukan yang sudah berlalu. "Apa Tuan Kanawut sudah tahu tentang Nona Puim?"
Mew masih terdiam, dan Anya hanya sanggup melepaskan kacamatanya sebagai tanda penat. "Belum, ya?"
Anggukan Mew membuat Anya sedikit geram, namun tidak dapat menyalahkannya juga. "Saya tidak peduli berapa lama anda dan Nona Puim sudah bersama, yang lebih penting kini adalah Tuan Kanawut. Yang menjadi pasangan anda bukan lagi Nona Puim, namun Tuan Kanawut. Yang seharusnya anda jaga perasaannya bukan lagi Nona Puim, namun Tuan Kanawut."
"Saya harap anda mengerti alasan mengapa saya berkata demikian, karena jika saya menempatkan diri di posisi Tuan Kanawut, perasaan saya akan sama. Kecewa," pungkas Anya, mengatakan dengan keras kata terakhirnya.
Brakk!
Mew malah menggebrak mejanya, memukulkan kedua tangannya yang mengepal pada meja kerja marmer berwarna hitamnya itu. Terperanjat Anya dibuatnya. "Saya rasa sudah cukup, Anya."
"Terima kasih nasihatnya." Ia mengeluarkan ponselnya, mengetikkan nama seseorang di kolom pencarian kontak. "Saya akan jelaskan kepada Gulf soal Puim nanti, begitu juga sebaliknya. Yang jelas, mereka jangan sampai bertemu."
"Saya tidak mau semuanya bertambah rumit."
* * *
Mew sudah menekankan dengan jelas, tidak perlu datang ke kantornya. TIDAK PERLU. Tapi yang namanya Gulf, yang kepalanya keras seperti batu itu... tentu saja tidak menurut. Tidak mengacuhkan apapun yang dikatakan oleh laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbonded. || MewGulf
FanfictionPernikahan tanpa cinta, akankah berakhir bahagia? * * * Walau terlihat kokoh, punggung itu sebenarnya rapuh. Dan walau terlihat tegas, nyatanya ia tidak lebih dari manusia lemah yang berlindung dibalik segala pedihnya hidup yang ia rasakan. Masa lal...