Mereka tak pernah melalui hari-hari layaknya cucu Adam lain. Tak pernah merasa sama. Yang satu selalu merasa tertekan, terancam kemanapun kakinya memutuskan untuk pergi. Yang satunya lagi selalu merasa sepi, sendiri, terperangkap dalam dekap menyesakkan sang Ayah.
Yang satu berusaha melupakan.
Yang satu berusaha melawan.
Yang satu menyimpan rasa, menyimpan takut.
Yang satu menjauh, membebaskan diri.
Kini, mereka telah dipertemukan, sebagian kecil kisah mereka sempat tertuliskan. Yang belum terungkap, hanya cara mereka mengatasi masa lampau satu sama lain.
* * *
Hatinya senang mendengar bel rumah berbunyi, kakinya ikut berlari kencang menuju pintu depan. Mew! Itu pasti Mew! Ekspektasinya berkata demikian.
"Iyaaa, sebentaaar," teriaknya dari dalam rumah. Sempat berhenti di depan cermin, merapikan rambutnya sedikit sebelum beranjak ke luar.
Tak mengintip terlebih dahulu dari jendela, Gulf membukakan pintu dengan senyum lebar. Ia bertanya girang, "Mana suratkuu?"
Ia dikalahkan oleh realita, sebab bukan Mew yang berdiri di depan pintu jati.
"Surat apa?" Suara beliau serak akibat cerutu yang terselip di antara bibir, tatapan tajam dan tidak suka itu lantas mendarat pada anak bungsu yang membukakan pintu untuknya. "Ngapain kok di sini?"
Bungkam seketika. Membeku pula tubuhnya itu.
"Heh? Kamu udah ada rumah sendiri, ngapain di sini?"
Nada yang merendahkan tersebut tak lagi asing di telinga Gulf. Nada dan suara yang ia dengar setiap hari selama belasan tahun hidupnya.
Gulf diam, tak menjawab. Menunggu seseorang untuk menyelamatkannya, perhaps?
"Dia kangen aku, memang kenapa to? Apa gak boleh cucuku mampir ke sini?" Sang Kakek datang, merangkul Gulf dari belakang dan menyelamatkannya. Terima kasih, Tuhan.
Oh kecil menjadi jawaban nya, jawaban sang 'Papa'.
"Hari ini waktunya bapak check-up ke rumah sakit," sang Ayah mengungkap maksud kedatangannya. "Tapi kalau tau 'dia' ada di sini aku yo nggak jadi dateng," beliau berbisik, namun tetap terdengar karena jarak Gulf dengan beliau cukup dekat.
Kakek Gulf mengangguk, berpura-pura tak dengar bisik nan gumamannya. Lantas tangan beliau bergerak mengipasi udara, mengusir asap putih tebal dari cerutu yang dihisap anak sulungnya. "Jangan ngerokok to le, matiin." Beliau terbatuk-batuk.
"Aku wes pasrah mau kena kanker ta apa, hidupku udah lama. Tapi anak lanangmu nggak, kasian dia masih muda," lanjutnya.
Tersenyum meremehkan, 'Papa' Gulf melenggang masuk sembari melempar puntung cerutunya ke arah luar. "Aku nggak punya anak cowok, dia kemayu gitu. Cowok dari mananya? haha," ejek beliau.
Baik Gulf dan Kakeknya terdiam, sudah sedikit khatam dan wajar dengan sifat laki-laki berperut buncit yang meminta dirinya dipanggil 'Papa' setiap waktu.
Yang jelas, beliau sudah tidak cocok menyandang julukan tersebut.
.
.
.
Menghilang cukup lama, Gulf kembali ke ruang tamu dengan dua cangkir teh di nampan. "Silahkan," ucapnya sopan, meletakkan kedua cangkir di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbonded. || MewGulf
FanfictionPernikahan tanpa cinta, akankah berakhir bahagia? * * * Walau terlihat kokoh, punggung itu sebenarnya rapuh. Dan walau terlihat tegas, nyatanya ia tidak lebih dari manusia lemah yang berlindung dibalik segala pedihnya hidup yang ia rasakan. Masa lal...