Unbonded - 17

1.1K 168 40
                                    

untuk kalian semua, yang aku bikin sebel di part sebelumnya, hehe <3 

Semua memang tidak berjalan sesuai keinginannya, namun Mew tidak bisa menyalahkan perempuan yang duduk di hadapannya itu. Ia hanya bisa memijit pelipisnya penat. Berusaha meluruskan pikirannya.

Semua yang baru saja terjadi bukan salah Puim. Waktu kedatangan perempuan itu memang tidak tepat – tapi bukan salahnya.

"Puim..." panggilnya dengan suara lirih, dengan hembusan napas berat menyusul.

Sejak Mew yang bungkam saat Gulf datang, hingga Mew yang resah saat Gulf pergi, menimbulkan ratusan pertanyaan dalam benaknya. "Kamu kenapa?" bingung Puim, sebelah alisnya naik. "Kamu sakit ta?"

Perempuan berjas putih itu mengulurkan tangannya, hendak menempelkan punggung tangannya pada dahi Mew. "Kepalamu pusing? Mau aku-"

"Nggak usah," sela laki-laki itu, menahan tangan Puim yang sudah menyentuh dahinya sekilas.

"...oke." Puim menarik tangannya kembali, meletakkannya di atas paha dengan canggung.

Suasana dalam ruangan itu terasa mencekam bagi Puim, membuatnya tidak bisa bernapas dengan leluasa. Kekasihnya terlihat menyeramkan. Ia memperhatikan sosok itu baik-baik. Rambutnya yang berantakan... wajah yang menyiratkan kelelahan... tangan yang dipenuhi bekas tinta... dan juga... benda asing yang melingkar di jari manis kekasihnya itu.

Benda... yang baru disadari oleh Puim kehadirannya.

Perempuan itu lantas mengerjapkan matanya, memastikan yang ia lihat bukanlah halusinasi semata. "Mew," panggilnya. Suaranya bergetar, dengan susah payah ia paksakan agar terdengar stabil. "Itu..." ia mengambil jeda, menelan ludah yang tercipta akibat gugup.

"Itu cincin apa?"

Dalam hatinya, Puim berharap cincin tersebut hanya sekedar perhiasan. Bukan sesuatu yang bermakna lebih.

"Oh," gumam Mew. Tangan kirinya memainkan cincin tersebut. "Ini..."

"Perhiasan doang, kan?" potong Puim tidak sabar. Tidak siap pula mendengar jawaban yang akan diberi Mew. "Itu buat aksesoris kan?" ulangnya.

Yang ditanya menggeleng pelan, dengan kata 'bukan' yang terselip sebelum dirinya menggeleng. Detik itu pula jantung Puim terasa berhenti berdetak. Hati kecilnya tidak ingin percaya, namun kekasihnya tidak pernah mengatakan apapun selain fakta dan kejujuran. Lantas...?

"Ini- cincin pernikahanku..." ucap Mew, menyambung kalimatnya yang sempat terpotong. Dengan perasaan bersalah menyeruak begitu bibirnya kembali terkatup.

Bohong kalau Puim tidak tersiksa mendengarnya, bohong pula kalau ia tidak menyalahkan dirinya sendiri. Namun ia memaksakan senyum di wajahnya, yang hanya menambah sesak di hatinya.

Senyum itu melukai Mew, ikut melukai Anya juga yang berdiri tidak jauh dari Mew.

"Kalau seandainya aku nggak pergi ke Melbourne..." Puim berucap lirih. Ia ikut mengusap-usap jari manisnya, yang masih polos tanpa ada apapun yang melingkar disana. "Kalau seandainya gitu... mungkin kita yang bakal nikah nggak sih?"

Atmosfer ruangan itu dipenuhi sedih, baik Mew maupun Anya tidak mampu berkata-kata. "Tapi nggak apa-apa kok," tutur Puim buru-buru. Tidak ingin Anya serta Mew ikut larut dalam apa yang ia rasakan. "Siapapun yang menikah sama kamu must be one lucky person."

Yang menikah dengan Mew adalah orang yang beruntung... meski itu bukan dirinya.

"Maaf..."

Hanya 'maaf' yang bisa keluar dari bibir Mew, sekalipun bukan 'maaf' yang ingin didengar oleh Puim.

"Nggak usah minta maaf," jawab Puim. "Ini kan salahku, kenapa kamu yang minta maaf?"

Unbonded. || MewGulfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang