Seolah-olah kedua kelopak mata Gulf adalah dua kutub yang senama, terus bertolak belakang, menolak untuk bertemu sekalipun Gulf sudah berusaha memejamkannya kuat-kuat. Ia mengantuk-- namun otaknya menolak untuk memindahkan kesadarannya ke alam mimpi. Entah kenapa, terlelap dengan kepala yang penuh dengan rasa heran terasa sulit. Pun dengan ingatan yang terus menghantuinya. Ada banyak hal yang terus mengganjal di hatinya, memberi sebuah perasaan abstrak yang membuatnya resah.
Perasaan itu bahkan tidak memperbolehkannya terlelap walaupun sejenak. Terus memaksanya untuk membuka mata-- dirinya dipenuhi khawatir yang bercampur sepercik ketakutan didalamnya.
Lalu ada juga perasaan yang menyesakkan, perutnya melilit dan dadanya seakan-akan diremat-remat oleh ribuan tangan. Kilas balik mengerikan itu-- datang lagi.
Kalau di dalam kegelapan ruang itu hal yang sama kembali terulang, bagaimana?
Dari banyaknya pertanyaan dan pemikiran dalam kepala Gulf, kalimat panjang itu mendominasi.
Selebihnya hanya ada 'Kalau--', 'Semisal--', 'Gimana--', 'Siapa?' dan... 'Harus apa?'
Berbeda dengan Gulf, sosok laki-laki disebelahnya itu-- sang suami sudah terlelap. Kalau kata neneknya, Mew sudah tiba di pulau kapuk. Mungkin karena lelah, hanya dengan berbaring sekejap saja laki-laki bongsor itu dapat tertidur lelap. Dan tentunya-- dengan tangan yang melingkar di pinggang Gulf.
Ia berdecak kecil. "Nggak bisa tidur." Tubuhnya ia baringkan ke kiri, berusaha mengganti posisi yang awalnya tidur telentang. Masih sama, belum nyaman, kini ia membenarkan posisi bantalnya, mengganti sisi atas yang sudah terasa tidak nyaman itu dengan sisi bagian bawah yang masih dingin.
Namun beberapa kali pun mengganti posisi-- hasilnya akan tetap sama bagi Gulf. Ia masih tidak nyaman, terutama karena tangan yang melingkar di pinggangnya. Satu-satunya alasan ia tidak memindahkan posisi lengan itu adalah pemiliknya yang sudah tertidur pulas, Gulf tidak memiliki hati untuk memindahkannya. Takut membangunkan Mew. Ia paham jelas Mew membutuhkan tidur malam yang berkualitas, bekerja satu hari penuh bukanlah hal yang mudah.
"Dua belas kurang sepuluh--" Ia mengintip ke arah jam digital yang duduk manis di nakas. Napasnya dihembuskan pelan, mulai pasrah. Kalau hingga matahari kembali menampakkan sinarnya ia belum bisa tidur-- maka biarkan saja. Kalau ia harus terjaga semalam penuh maka biarkan saja. Tapi paling tidak, untuk terakhir kalinya, Gulf mencoba untuk tidur. Ia mengganti posisinya, membaringkan tubuhnya ke arah kanan. Ia kini berhadapan dengan Mew, wajah-ke-wajah, dan sejujurnya-- itu adalah posisi yang paling ia hindari.
Mew mengerang kecil, sembari meregangkan tubuh-- matanya perlahan terbuka. "Kok belum tidur?" ia bertanya lirih, dengan tangan yang sibuk mengusap mata.
"Mimpi buruk?" Mew kembali bertanya. Ia menatap Gulf dengan kedua matanya yang nyaris terbuka.
Gulf memberi gelengan kecil, "Nggak."
"Terus nggak bisa tidur gara-gara apa?"
Gulf menatap Mew dalam diam, sebelum menjawab dengan sebuah rentetan kata yang tersusun rapi. "Sekalipun aku kasih tau, I don't think kamu bisa bantu untuk masalah ini." Ia menarik selimut yang kini berada di ujung kakinya, menutupi tubuhnya dan tubuh sang suami dengan kain lebar tersebut. "Tidur aja sana."
"Tau darimana aku nggak bisa bantu?" Mew menaikkan sebelah alisnya, matanya yang tadi hanya terbuka sempit kini melebar. Seolah-olah kantuk yang tadi memenuhi dirinya terbang dibawa angin. Tangannya menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, kembali membuangnya jauh-jauh. "Cerita, apa yang ganggu pikiran kamu? Kenapa kamu nggak bisa tidur? Cerita semua."
Yang mengganggu pikirannya bukan sebuah hal remeh, bukan masalah baju apa yang akan dipakai besok, atau apa yang akan ia makan besok. Namun juga menyangkut masa lalunya, sesuatu yang tidak ingin ia umbar pada sembarang orang, pun dengan pertanyaan yang terlalu gengsi untuk ia lontarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbonded. || MewGulf
FanfictionPernikahan tanpa cinta, akankah berakhir bahagia? * * * Walau terlihat kokoh, punggung itu sebenarnya rapuh. Dan walau terlihat tegas, nyatanya ia tidak lebih dari manusia lemah yang berlindung dibalik segala pedihnya hidup yang ia rasakan. Masa lal...