"Kamu suka?"
"Nggak."
Wajah datar itu tidak berubah, barang dihiasi dengan senyum tipis. Mew semakin resah dibuatnya. Niatnya satu, mendekatkan diri dengan Gulf. Atau mungkin mulai menumbuhkan benih cinta diantara mereka. Tapi yang Mew bayangkan, segala ekspektasi yang diharapkannya mengenai hari itu, pupus begitu saja dengan satu kata yang Gulf ucapkan; 'Nggak'.
Sebuah restoran yang memamerkan indahnya kota Surabaya dari atas gedung, sebuah restoran yang disewa khusus oleh Mew pula. Dipenuhi bunga mawar yang menghias rapi setiap jalan yang mereka pijak. Serta lilin-lilin kecil yang menerangi jalan di bawah langit senja.
"Kenapa bunga mawar?" tanya Gulf, mengangkat setangkai bunga mawar merah yang tergeletak di atas meja. Mawar itu memiliki secarik kecil kertas menggantung pada tangkainya, diikat menggunakan pita berwarna putih. Tulisannya tidak cukup spesial, hanya bertulis inisialnya, dan inisial Mew. MG.
"Oh, itu soalnya--" Mew menggaruk tengkuknya, bingung. Tidak ada alasan spesial dibalik dirinya yang memilih bunga mawar sebagai hiasan di sore hari itu. Bunga mawar hanya terasa-- romantis.
"Soalnya apa?"
"Itu-"
"Ngomong yang jelas."
Rasanya seperti diinterogasi, lebih-lebih seperti wawancara pekerjaan. Padahal hanya karena perkara kecil, mawar.
"Soalnya mawar indah?" ucap Mew ragu. Biasanya ia dapat menebak dengan mudah isi hati atau pikiran orang, tapi dengan Gulf? Sulit. Amat sangat sulit.
"Cuma itu?"
"Y-ya," Mew menjawab gagap.
Lawan bicaranya mengedikkan bahu pelan, "aku pikir kamu bakal kasih jawaban yang lain." Jemarinya memainkan kelopak dari bunga yang ia bawa, melepaskannya satu-persatu dari tangkainya. "Nggak cuma mawar yang indah, ada ratusan ribu bunga indah lain."
"Awalnya aku kira kamu pilih mawar gara-gara itu romantis? Ternyata nggak ya?" tambah Gulf. Ia beranjak, menarik kursi sebagai tempat duduknya, menekuk kaki dengan angkuh namun tetap terlihat anggun.
Di depan Gulf, Mew duduk, sangat kaku karena ragu. Berbicara dengan Gulf jauh lebih rumit yang ia bayangkan, penuh teka-teki seperti matematika, memusingkan seperti fisika dan membingungkan seperti puzzle dengan ribuan bagian. "Kamu suka mawarnya?" Mew bertanya, sembari mulai membuka buku menu yang berada di hadapannya.
Dan jawaban Gulf tetap sama. "Nggak." Bunga mawar yang ia pegang kini hanya tinggal tangkainya, ia patahkan benda itu menjadi dua, kemudian ia jatuhkan ke lantai kayu tanpa perasaan. "Kamu yang pesen makananku? Atau aku yang pesan sendiri?"
"Terserah. Apapun yang kamu pesan juga aku bayar juga tuh?" Mew melambai-lambaikan black card yang ia ampit diantara jari tengah dan telunjuknya, memamerkan nya.
"Sombong." Gulf merotasikan matanya.
"Bukan sombong, itu cuma fakta, Kanawut. Harusnya kamu senang, suamimu ini kaya."
"Harusnya kamu khawatir, pasanganmu ini suka belanja, suka ngabisin uang juga, Suppasit." Dan memang benar adanya, tadi saja, keduanya menghabiskan seharian penuh di mall. Berbelanja ini dan itu. Baju dan aksesoris. Sepatu dan kacamata hitam. Jajanan ringan dan minuman. Singkatnya; apapun yang Gulf ingin dan Gulf tunjuk. Alhasil, bagasi mobil Mew penuh. Penuh dengan berbagai macam tas kertas dari logo ternama.
"Aku nggak masalah ngabisin uang untuk orang yang bareng aku sampai mati." Mew menopang dagunya menggunakan tangan, menatap Gulf pula dengan manik coklatnya.
Sosok di hadapan Mew tersenyum kecil, sebuah senyum sarkas yang bersembunyi sempurna dibalik senyum manis. "Bold of you to assume I will be by your side until you die."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbonded. || MewGulf
FanfictionPernikahan tanpa cinta, akankah berakhir bahagia? * * * Walau terlihat kokoh, punggung itu sebenarnya rapuh. Dan walau terlihat tegas, nyatanya ia tidak lebih dari manusia lemah yang berlindung dibalik segala pedihnya hidup yang ia rasakan. Masa lal...