"Nggak, saya harus pergi sekarang," Mew bersikukuh. Matanya menatap Anya, berusaha meyakinkan asisten kepercayaan ayahnya itu untuk memperbolehkannya pergi. "Saya harus jemput Gulf!"
* * *
Kota pahlawan sudah ditutupi awan gelap dari sore. Belum lewat satu jam sejak Mew menjemput pasangannya pun-- hujan sudah turun deras. Mengguyur dan menyelimuti kota itu dengan hawa dingin.
Dan entah apa yang diharapkan Mew tentang makan malam mereka, namun yang jelas bukan begini. Bukan Gulf yang merekam pembicaraan mereka menggunakan ponselnya. Bukan kacamata yang menggantung di ujung hidung mancung Gulf. Bukan juga Gulf yang sudah menyiapkan buku catatan kecil beserta pulpen biru kesayangannya, siap mencatat.
Ini bukan lagi makan malam. Ini sudah sebelas dua belas dengan sesi wawancara pekerjaan!
"Jadi kamu mulai belajar untuk jadi penerus perusahaan sejak SMP kelas tiga?" Gulf memperdetail pertanyaannya, menggoreskan pulpennya pada kertas kosong, sekaligus melirik kecil ke arah laki-laki di hadapannya. "Umur... tiga belas tahun ya? Kelas tiga SMP umur tiga belas...?" ia bertanya ragu, pertanyaan hasil dari kesimpulan catatan sebelumnya.
"Iya." Mew mengangguk kecil. "Eyang kakung bilang, dalam empat tahun perusahaan papa sudah harus pindah tangan ke penerus. Jadi aku sama adikku sudah mulai belajar soal bisnis dari umur segitu."
Gulf meloloskan 'wow' kecil dari mulutnya, barulah ia membalikkan halaman dari buku tulis kecilnya yang sudah penuh. "Umur tiga belas udah kelas tiga SMP? Berarti kamu lompat kelas atau masuk terlalu cepet gitu ya?"
"Iya."
Ia mengangguk paham. "Kamu dulu sempat ngerasa tertekan sama tanggung jawab itu nggak?" Tanpa menoleh ia bertanya, tangannya sibuk menambahkan poin-poin penting dari jawaban Mew. "Cause, you know, itu suatu hal yang cukup besar untuk ditaruh di punggung anak SMP! Jadi calon penerus di umur segitu? Wow. Mana awalnya kamu dididik untuk masuk pekerjaan yang jauh banget dari bisnis nggak sih?"
Daripada menjawab pertanyaan itu, Mew lebih memilih untuk memberi pertanyaannya sendiri. Semangatnya tadi sudah hilang. Sirna. Kehebohannya tadi, yang teramat sangat menantikan makan malamnya dengan Gulf itu berubah menjadi bosan yang akan membuatnya membusuk di kursi. "Makannya kapan?"
Sembari mengayunkan pulpennya di udara, Gulf menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Kamu mau makan sekarang?" ia balik bertanya. "Udah laper kah?"
Menggaruk tengkuknya, Mew menggeleng pelan. "Ya... nggak sih."
"Yaudah kalau gitu, nanti aja." Gulf kembali menggenggam pulpennya, bersiap-siap untuk menulis.
"Tapi aku nggak mau tanya-jawab lagi," ia berujar cepat. Tatapan penuh tanya Gulf membuat Mew merasa harus memberi alasan lebih lanjut. "Capek."
"Capek kenapa?" tanya Gulf, tidak mempedulikan alasan yang diberi Mew.
"Ya-- capek aja jawab-jawab pertanyaan gitu."
Bibirnya membentuk lengkungan sedih. Dibalikkannya halaman-halaman yang berisi pertanyaan lanjutannya, mengecek ulang deret pertanyaannya satu-persatu. "Kurang dikit kok, lanjut yaa?" ia memohon, walau jawaban Mew tetap sama. Laki-laki itu menggeleng, menandakan tidak.
Dan gelengan itu membuat lengkungan di bibir Gulf semakin terlihat.
"Oke, fine! tanya-jawabnya selesai." Ia menggerutu kesal. Yang diharapkan dari sesi tanya jawab itu belum tercapai, sungguh. Kepalanya penuh akibat pertanyaan membuncah yang tersimpan di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbonded. || MewGulf
Fiksi PenggemarPernikahan tanpa cinta, akankah berakhir bahagia? * * * Walau terlihat kokoh, punggung itu sebenarnya rapuh. Dan walau terlihat tegas, nyatanya ia tidak lebih dari manusia lemah yang berlindung dibalik segala pedihnya hidup yang ia rasakan. Masa lal...