"Ini," ucapnya, memberikan minuman kalengan kepada sosok di depannya. Di Bawah gelapnya malam, ditemani hembus angin sepoi-sepoi. Keduanya duduk di samping kolam, sambil bersantai menghilangkan bosan.
"Ya."
Canggung, keduanya hanya menatap satu sama lain dalam diam.
Hening, tidak ada topik untuk dibahas sama sekali.
Gugup, mengingat alasan mengapa keduanya bertemu hari itu.
Perjodohan berdasar keuntungan bisnis, apa hal konyol itu masih ada di era milenial ini? Jawabannya; ada. Dan dua sosok rupawan ini menjadi korban dari hal konyol tersebut.
Tidak ada angin, tidak ada hujan. Tiba-tiba keduanya diminta datang dan bertemu, bersikap sopan dan menjamu, bertegur sapa dan berbincang. Apa keduanya marah? Mungkin. Kecewa? Bisa jadi. Tapi mereka bisa apa? Bukankah tugas anak mematuhi perintah orang tuanya?
"Kamu... tau soal ini?" tanya salah satunya canggung.
Sosok satunya lagi menggelengkan kepala pelan. "Nggak. Kamu?"
"No clue."
Sudah, hanya itu yang mereka bicarakan. Atau, tidak terlalu jauh dari topik cuaca, hobi, dan berbagai macam topik klise lainnya. Kalau muncul pertanyaan 'sudah makan?' maka jawabannya belum, karena keduanya memang sedang menunggu makanan dihidangkan. Kata orang tua mereka, 'habiskan waktu untuk saling mengenal'. Tapi mau saling mengenal bagaimana? Bagaimana bisa kalau keduanya masih shock dengan berita perjodohan ini?
"Siapa namamu? Aku nggak terlalu memperhatikan tadi," tanya salah satunya tiba-tiba. Keduanya saling melemparkan tatapan datar, tanpa ada perasaan kecil tersirat di dalamnya.
"Mew, Mew Suppasit Jongcheveevat."
"Tau namaku?"
Laki-laki bernama Mew itu terlihat berpikir sejenak, "Gulf Kanawut? Gulf Kanawut Jongcheveevat?"
Yang berpanggilan Gulf itu membola, terkejut, bingung juga dalam waktu bersamaan. "Margaku masih Traipipattanapong!" ujarnya tidak terima.
"Toh kita akan menikah? Bukannya kamu akan mengambil margaku, ya?"
"Loh? Bukannya-" Gulf terlihat berpikir keras, sangat keras hingga manik coklatnya ikut berlari kesana kemari karena bingung. "Ah, terserah."
Keduanya kembali menatap kosong menuju kolam, menikmati indahnya bunga imitasi dengan lilin yang mengapung di atasnya. Sambil sesekali menyesap minuman kaleng yang dibawakan Mew tadi, atau memainkan air kolam.
Tidak mempedulikan pakaian apa yang ia pakai dan berapa harganya, Gulf membaringkan badannya ke belakang. Pada lantai setengah basah pinggir kolam. Menatap jutaan bintang yang bertabur di langit. "Mereka bilang kita menikah minggu depan, apa menurutmu itu nggak aneh?" racau Gulf. Bibirnya mengerucut kecil dan alisnya saling bertaut kesal. "Kalau memang perjodohan bukannya kita harus punya waktu untuk saling menyukai?"
Sama halnya dengan Gulf, Mew ikut berbaring. Menatap langit dengan manik coklatnya. "Mungkin seharusnya memang begitu." Mew menoleh kecil ke arah Gulf. "Tapi kalau itu perintah orang tua, kita bisa apa? Sudah tugas kita untuk patuh sama orangtua, kan?"
Menghembuskan napasnya berat, Gulf berusaha untuk paham. "Tapi bukannya kita punya hak untuk menolak?"
Dan Mew menggeleng. "Nggak ada hak bagi kita untuk menolak. Ini kewajiban kita sebagai anak."
"Tapi-" Pada akhirnya Gulf hanya terdiam pasrah-- koreksi, ia memilih untuk diam. Ucapan Mew benar adanya, tidak ada gunanya berdebat.
Cukup lama mereka saling terdiam, mengagumi ciptaan Tuhan di langit malam. Dengan angin yang berhembus, menyerbak rambut keduanya. Dengan gemericik air, yang berbisik damai ke dalam telinga. Serta dinginnya malam, yang membuat Gulf menggigil kedinginan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbonded. || MewGulf
FanfictionPernikahan tanpa cinta, akankah berakhir bahagia? * * * Walau terlihat kokoh, punggung itu sebenarnya rapuh. Dan walau terlihat tegas, nyatanya ia tidak lebih dari manusia lemah yang berlindung dibalik segala pedihnya hidup yang ia rasakan. Masa lal...