Rasanya aneh berada di dalam rumah itu. Dalam rumah kontemporer tiga lantai, luas nan megah, bersama sang suami dan asistennya. Canggung. Aneh. Gulf hanya dapat berpura-pura mengagumi interior rumah tersebut, walau dalam hati ingin segera masuk kedalam kamarnya.
Atau... kamarnya dan suaminya, ya? Eh.
"Luas," ucap Gulf lirih. Ia sedari tadi berdiri canggung di samping Mew, dengan tas kecil yang ia genggam erat-erat.
"Hmm," Mew bergumam, mengiyakan. "Ya... lumayan luas? Bisa dibilang gitu sih."
"Ini luas, luas banget. Tapi mungkin nggak seluas rumah papa-mamaku deh? Padahal aku kira rumah papa-mama udah luas banget? Aku yang udah tinggal bertahun-tahun di sana aja masih sering kesasar, jadi harus ditemenin sama asisten kalau nggak ajudannya papa," curhat Gulf panjang lebar. Jempolnya ia acungkan, sebagai apresiasi kecil untuk Mew. "Tapi rumah kamu keren kok."
Mew menarik sebelah alisnya, dengan tangan yang ia lipat di depan dada. "Itu pujian atau ejekan sih?"
Mengedikkan bahunya, Gulf menjawab santai, "Nggak tau juga."
Barang-barang bawaannya sudah selesai dipindahkan dari mobil, walau hanya sebagian kecil dari seluruh barang miliknya di rumah.
Gulf tersenyum senang, ia menatap tumpukan barangnya-- kemudian beralih untuk menatap Mew. "Rumah kamu luas," Gulf berucap lagi, mengulang kembali kata yang sama. "Kamu nggak mau nganter aku keliling, gitu?"
Mew tersenyum lebar, "Boleh, kamu mau keliling kema--"
"Tuan Suppasit," sela asistennya, sosok perempuan bertubuh tinggi dan ramping yang berdiri di hadapan keduanya. "Anda ada jadwal."
"Hngg--" sesal Mew. "Batal dulu ya." Ia melirik kecil ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Aku harus balik."
"Kemana?" Alis Gulf bertaut, kebingungan.
"Ke kantor."
"Bukannya sama Papa disuruh libur dulu?"
"..." Mew menggaruk tengkuknya bingung, matanya tidak sanggup bertatapan dengan netra coklat Gulf yang menatapnya penuh penasaran. "Ya... soal itu..."
"Terus aku ijin nggak masuk kelas buat apa?" kesal Gulf. Ia menyerbu Mew dengan pertanyaan, dengan kaki yang ia ketuk-ketukkan tidak sabar mendengar Mew yang terus menggantung jawabannya. "Kamu tambah ngeselin deh," tambahnya.
"Terus aku keliling sama siapa?" keluh Gulf lagi. "Kamu mau aku kesasar di rumah ini ya?"
Mew menggeleng. "Err-- kamu mau keliling sama asistenku?" tawar Mew, bingung menghadapi Gulf. Dalam hatinya ia sedikit bertanya-tanya, kemana perginya dirinya yang tegas tadi?
"Tapi dia harus ikut aku ke kant--"
"Nggak, aku keliling sama asistenmu," potong Gulf langsung. Ia meraih lengan perempuan berambut sanggul di hadapannya itu dan merangkulnya. "Pokoknya aku keliling sama dia," ia bersikeras.
Tangan Gulf membuat gestur mengusir. "Kamu pergi sana, bukannya harus 'balik'? Sana cepet pergi."
"Kok aku diusir?" tanya Mew tidak terima, namun menyunggingkan senyum miring. "Ini rumahku loh?"
"Biarin." Gulf menjulurkan lidahnya. "Siapa suruh nggak mau nganter aku keliling." Rangkulannya pada lengan asisten Mew itu ia lepas. Kembali memberi gestur mengusir, kini ia juga dengan mendorong punggung Mew. "Ayo pak Suppasit, cepet pergi," usirnya.
"Nggak ah." Mew berbalik, menangkap kedua tangan Gulf yang terus menerus mendorongnya hingga pintu depan itu. "Ayo, peluk dulu," pintanya.
"Hah?!" seru Gulf, buru-buru ia menarik kedua tangannya dari genggaman Mew. "Peluk?!" Kepalanya ia gelengkan spontan. Ia masih ingat dengan peraturan yang mereka sepakati tadi. Namun-- memeluk laki-laki di hadapannya ini?? Rasanya masih aneh. Apalagi kalau harus berpelukan di hadapan asisten Mew... lebih aneh lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbonded. || MewGulf
FanficPernikahan tanpa cinta, akankah berakhir bahagia? * * * Walau terlihat kokoh, punggung itu sebenarnya rapuh. Dan walau terlihat tegas, nyatanya ia tidak lebih dari manusia lemah yang berlindung dibalik segala pedihnya hidup yang ia rasakan. Masa lal...