Chapter 18

285 57 20
                                    

Ilham mulai beranjak menuju halaman rumahnya. Lelah mulai dirasakan Ilham, perih goresan dedaunan mulai berubah menjadi gatal yang cukup mengganggu.

"Den Ilham!", suara menyapa dari belakang Ilham.

"Kenapa Mang?", tanya Ilham setelah berbalik dan memandang si pemanggil.

"Bukannya Den Ilham mau menginap di rumah teman Aden? Tapi syukurlah, Mang Mamad tenang kalau Aden sudah pulang ke rumah".

"Menginap? Kata siapa Ilham mau menginap, Mang?".

"Den Gilang tadi yang bilang, Den!".

Ilham hanya diam mendengarkan penuturan Mang Mamad.

"Wajah Aden kenapa? Tangan Aden juga...", tanya Mang Mamad khawatir melihat goresan tipis kemerahan di wajah dan tangan Ilham.

"Gak apa-apa, Mang", ucap Ilham sambil memasang senyum.

"Ilham masuk ke dalam dulu ya, Mang! Badan Ilham pegel semua", lanjut Ilham kemudian.

"Silahkan, Den! Mamang juga harus ke belakang dulu. Mari Den!".

Ilham hanya mengangguk kemudian melangkahkan kaki menuju kamarnya. Ketika berada di dalam kamar, Ilham segera mengunci pintu kemudian membersihkan diri dan mengganti pakaiannya. Ilham tak lupa mengoleskan salep pada goresan panjang tipis kemerahan yang terdapat di wajah dan tangan Ilham akibat dedaunan di hutan tadi.

Ilham kemudian melaksanakan shalat, Ilham memanjatkan syukur kepada Allah karena Ilham selalu diberikan perlindungan dan dimudahkan dalam setiap urusannya. Segala macam doa dan harapan tak lupa Ilham panjatkan untuk orang tua, saudaranya, temannya dan seluruh kaum muslim lainnya. Ilham pun memohon dimudahkan dalam menentukan keputusan terbaik.

Selesai shalat dan berdoa, Ilham menatap kotak kecil yang diberikan orang misterius itu dan gantungan kunci yang baru saja ia dapatkan kembali.

"Sebaiknya Ilham menelpon Papa dan Mama", ucap Ilham.

Ilham bukan ingin menceritakan kejadian yang ia alami kepada orang tuanya, Ilham hanya ingin mendengar kabar mereka sehingga bisa mengurangi gundah di hatinya.

Ilham kemudian meletakkan kotak putih dan gantungan kunci miliknya di dalam laci nakasnya dan menguncinya, setelah itu ia beranjak menuju ruang keluarga dimana di sana terdapat telepon rumah.

"Berhasil pulang juga, Kak?", ucap Gilang yang sedang santai di ruang keluarga.

"Seperti yang Gilang lihat, Kak Ilham harap Gilang gak kecewa".

"Heh....", balas Gilang sambil berlalu menjauhi Ilham.

"Bi Inah, antar makan malam Gilang ke kamar! Gilang lagi gak mood makan di sini", lanjut Gilang sambil berlalu menuju kamarnya.

"Baik, Den", jawab Bi Inah dari ruang makan.

"Bi Inah, maaf Bi. Apa hari ini Mama dan Papa ada menelpon?", tanya Ilham ketika sudah berada di ruang makan.

"Ada, Den. Pagi hari ketika Aden berdua sekolah".

"Bibi gak....".

"Iya, Den. Sesuai permintaan Aden".

"Makasih, Bi".

"Tapi, maaf Den. Apa gak sebaiknya tuan dan Nyonya tau yang sebenarnya? Bi Inah gak mau lihat....".

"Bi, Ilham gak mau Papa dan Mama malah jadi khawatir, belum lagi Papa mungkin akan berpikir kalau apa yang terjadi hanyalah kebohongan Ilham".

"Ilham gak mau semakin memperuncing keadaan, Bi. Biar saja apa yang terjadi saat ini cukup menjadi rahasia", ucap Ilham dengan senyum tulus.

*BATAS SENJA*Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang