Papa sedang memarkirkan mobil sambil terus memikirkan keputusan yang terbaik tuk Gilang dan Ilham. Sampai tiba-tiba terdengar suara gaduh yang berasal dari kamar Gilang.
Papa bergegas menuju kamar Gilang, namun dari jauh Papa melihat Gilang keluar dengan amarah.
"Gilang....", panggil Papa namun Gilang tidak mengindahkannya dan pergi dari rumah.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Sepertinya aku harus ke kamar Gilang", yakin Papa.
Setibanya di kamar Gilang, Papa melihat Mama mendekati Ilham dan membantunya berdiri.
"Ilham, kamu gak apa-apa, sayang?", tanya Mama sambil membantu Ilham berdiri.
"Ilham gak apa-apa, Ma", bohong Ilham.
"Ma, ada apa ini? Kenapa Ilham dan kenapa Gilang keluar dengan marah?", tanya Papa.
"Awalnya Mama bicara sama Gilang, Pa, tapi sepertinya Gilang sulit memahami dan semakin marah. Tiba-tiba Ilham masuk dan minta maaf, tetapi emosi Gilang semakin menjadi-jadi dan mendorong Ilham dan seperti apa yang Papa lihat saat ini", lanjut Mama sedih.
"Sebaiknya, kita segera mencari Gilang, Ma", ucap Papa.
"Iya, Pa", jawab Mama.
"Ilham ikut, Pa ya. Mungkin Ilham bisa bantu", usul Ilham.
"Tapi kamu gak apa-apa?", tanya Mama.
"Ilham gak apa-apa, Ma. Ilham malah semakin khawatir, jikalau Ilham gak membantu mencari Gilang", ucap Ilham.
"Ilham sebaiknya istirahat saja, biar Papa dan Mama yang cari Gilang. Papa khawatir kalau Ilham ikut malah akan membuat Gilang semakin marah", ucap Papa.
"Baik, Pa", jawab Ilham.
Papa dan Mama segera pergi mencari Gilang, sedangkan Ilham berjalan ke arah dapur, ia mengambil semangkok air dingin kemudian berjalan ke kamarnya untuk istirahat.
"Aargh ", ucap Ilham ketika ia meletakkan mangkok yang dibawa di atas nakas. Ilham lalu mengambil kain bersih beserta obat tuk memar dan mendudukkan diri di atas pembaringan.
"Sebaiknya memar ini segera Ilham obati", ucap Ilham sembari mengompresnya dengan air dingin kemudian mengoleskan obat di permukaannya.
Ilham istirahat sambil memandang jam yang berdetak. Lama ia berusaha menepisnya, namun pikiran itu enggan beranjak.
"Sebenarnya siapa anak Mama?", pikir Ilham.
Semakin Ilham mencoba mengingat memori yang ia lupakan, nyeri di kepalanya semakin nampak. Mengusik perlahan namun tiba-tiba menyambar dengan kuat.
"Aargh, kepala Ilham sakit sekali", ucap Ilham sambil megang kepalanya.
Ilham kemudian memejamkan mata menenangkan pikirannya, namun Ilham kembali terperosok dalam kegelapan mimpi.
Kegelapan menyelimutinya, ia coba berjalan namun pekat tetap menyapa.
"Ilham....Ilham....Ilham....", ucapan seorang wanita asing memenuhi kegelapan tersebut.
"Siapa?", tanya Ilham yang terus mencari sumber suara dalam gelap.
"Ilham....Ilham....Ilham....", suara itu datang kembali.
"Siapa di sana? Apa ada orang? " teriak Ilham.
Ilham mencari disekelilingnya, namun nihil.
"Ilham....Ilham....Ilham....", ucap suara itu.
"Ilham....Ilham....Ilham....bangun sayang", suara ini berubah menjadi sangat familiar bagi Ilham.
KAMU SEDANG MEMBACA
*BATAS SENJA*
Fiksi Remaja"Aku benci kak Ilham", suara itu selalu berdengung dalam relung hati Ilham. Bingung dan kecewa menghiasi hatinya, namun senyum dan kasih sayang selalu ia berikan untuk adik yang ia sayangi, Gilang. Di sisi lain, mimpi yang sama selalu mengejarnya d...