2

70 4 0
                                    

Untuk alasan apapun, Satya tak menyukai hujan. Baguslah kini hujan sudah benar-benar reda. Ia tak perlu mengeluarkan payung dari tasnya. Satya tahu, sahabatnya itu tak pernah membawa payung walaupun sedang musim hujan. Oleh karenanya, terkadang ia membawa dua payung jika diperlukan, dan memungkinkan.

Bagi Satya, Rasi sudah seperti adik sendiri meskipun baru mengenalnya sejak masuk SMA. Ia melindungi Rasi layaknya seorang kakak. Begitu dekatnya, mereka terkadang dianggap sebagai sepasang kekasih. Apalagi sering pulang bersama dengan berjalan sampai ke halte ke dua dari sekolah agar bisa menaiki bus dengan pemberhentian langsung di halte perumahan masing-masing. Kebetulan mereka tinggal di perumahan yang lokasinya tak begitu jauh, hanya berjarak satu halte.

"Ras, kenapa diem aja dari tadi?"

Rasi menoleh, terbangun dari lamunannya. "Nggak papa, At."

Satya bisa membaca kebohongan Rasi. Sejak pagi juga ia sudah bisa merasakan aura aneh dari Rasi. Ia tau Rasi sedang tidak baik-baik saja.

Satya duduk di sebelah Rasi ketika mereka sudah sampai di halte.

"Lo tau lo nggak bisa bohongin gue, kan?"

Rasi mengela napas. Menarik senyuman. Tetap diam.

"Gue telponin doi, nih."

"Loh! Jangan..!"

"Emang punya doi?" lagi-lagi Satya menggurau Rasi, membuatnya melirik tajam.

"Enggak, enggak. Makanya jangan diem terus. Serem," lanjut Satya diikuti senyuman kikuk.

Baiklah. Tampaknya memang Rasi sedang tidak baik-baik saja. Satya tak perlu berbuat apa-apa. Cukup diam sampai Rasi mau memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Konon katanya, perempuan jika sedang diam saja berarti ia sedang tidak dalam keadaan baik. Semua tindakan yang dilakukan untuk menghiburnya bisa jadi membuat suasana hatinya semakin kacau. Maka diam adalah tindakan yang paling tepat.

»—«

Sesampainya di rumah, Sandi segera membantu ibunya, Mariam, yang berjualan makanan di depan rumah. Ia anak yang baik, lembut, dan sangat menyayangi ibunya. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama ibunya karena orang tuanya bercerai setelah insiden 12 tahun yang lalu. Sandi tak punya pilihan selain tinggal bersama ibunya, sementara kakak laki-laki yang beda usia delapan tahun dengannya memilih bersama sang ayah. Orang paling berharga yang Sandi miliki saat ini hanyalah ibunya.

Sandi kerap bertanya sedang apa ayah dan kakaknya di sana. Mungkinkah mereka merindukannya disini. Atau mungkinkah mereka pernah memikirkan tentangnya disini, walau hanya sekali. Sejak insiden itu, dapat dikatakan bahwa Pandu, kakak Sandi, sangat membenci adiknya. Mengingat kejadian itu membuat Sandi terkadang ingin meneteskan air mata. Sementara kesalahannya di masa lampau bukan hal yang ia mau, bukan hal yang ia pilih.

"Sandi, tolong ambilin pisau di dapur," pinta Mariam kepada putra bungsunya itu.

Sandi pun beranjak dan kembali dengan membawa pisau yang diminta ibunya. "Ini, Bu."

"Tadi Mas Pandu telepon. Katanya minggu depan mau kesini."

Mata Sandi berbinar seketika. "Beneran, Bu?"

Mariam menanggapi pertanyaan antusias anaknya dengan anggukan.

"Semoga aja pas hari Sabtu atau Minggu, biar Sandi bisa ketemu. Sandi kangen banget, Bu, sama Mas Pandu. Kangen Ayah juga."

Raut wajah Mariam mengusut perlahan. Ia tak bisa memastikan kapan Pandu akan datang. Sandi sebenarnya tau, kalau Pandu tak akan pernah datang untuk menemuinya. Seperti yang sudah-sudah, Pandu selalu memilih hari dimana Sandi sekolah. Namun Sandi selalu bersemangat saat mendengar kabar bahwa Pandu akan datang. Ia sangat merindukan kakakanya. Juga ayahnya yang sudah lama tak ia jumpai. Jangankan bertemu, berbicara lewat telepon saja susah karena Pandu selalu menghalangi. Sebenci itu kah Pandu kepada Sandi?

BILYWhere stories live. Discover now