10

28 1 0
                                    

Upacara hari Senin pagi ini hampir usai. Sebentar lagi hiruk pikuk di halaman ini akan mengusik telinga. Demi menghindar, Rasi mengajak Tari ke toilet sebelum upacara selesai. Kebetulan keduanya berbaris di barisan paling belakang.

“Ras, mau sampai kapan lo kayak gitu terus?” tanya Tari ketika tiba di toilet.

Rasi tak mengerti maksud dari pertanyaan Tari yang tiba-tiba. “Apanya?”

“Lo nggak capek berjuang buat seseorang yang nggak pernah lihat perjuangan lo?”

Rasi menghela napas sambil menarik lengkung senyum di bibir. “Tar, lo pernah bilang selama gue bahagia lo bakal support gue, kan?”

“Lo inget nggak, sih?! Kemarin lo kayak gimana waktu tau Sandi kecelakaan, gimana waktu lo berusaha setengah mati nolongin dia. Sedangkan dia nggak tau sama sekali siapa yang nolong. Dia nggak meduliin lo, Ras. Yang ada di pikiran dia itu Bintang terus,” cerca Tari dengan intonasi pelan.

“Mau sampai kapan lo nyiksa diri kayak gitu?” lanjutnya dengan nada frustasi.

“Balik kelas, yuk! Habis ini pasti rame.”

Tari mencekal lengan Rasi sebelum Rasi melangkah. “Stop ngalihin pembicaraan! Stop buang-buang waktu dan tenaga lo buat seseorang yang belum selesai sama masa lalunya..”

“Itu bukan sesuatu yang bisa gue atur, Tar. Tapi gue nggak pernah kan, bilang ke lo kalau gue berharap Sandi suka balik sama gue? Lo nggak perlu khawatir, gue nggak akan mbuat diri gue tersiksa..” jawab Rasi dengan lembut.

Lagi-lagi Tari kalah. Sebagai sahabat, Tari tentu tak mau Rasi terluka. Tari paham sahabatnya yang satu itu bertopeng sangat tebal untuk menutupi lukanya. Bagi Tari, menyukai seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya sangat membuang waktu. Percuma. Sebab orang lama akan tetap menjadi pemenangnya.

Rasi menyadarinya, atau mungkin hanya prasangka dari sudut pandangnya, Sandi memang masih menaruh rasa kepada Bintang. Perlakuan Sandi kepada Rasi memang kerap meluluhkan. Namun ketika melihat Sandi tengah bersama Bintang, suasana hati Rasi bisa berubah drastis seketika.

Setibanya di kelas, Rasi dan Tari dihujani pertanyaan dari teman-temannya. Tak berdalih, Rasi menjelaskan apa adanya. Beberapa anak berencana menjenguk Sandi sepulang sekolah nanti meskipun ketua kelas mereka mungkin masih berbaring di rumah sakit saat ini sebab belum ada tanda-tanda kehidupan darinya.

Rasi menoleh ke kiri. Bangku di sampingnya itu kosong. Satya tidak berangkat karena sedang berada di luar kota karena suatu urusan, entah apa. Satya memang jarang sekali berbicara tentang dirinya, apalagi urusan pribadinya. Ia lebih sering menjadi pendengar.

Rasi menatap bangku di depan meja guru yang juga kosong. Suasana kelas yang riuh ini tak mampu mengusik kehampaan Rasi. Ia merasa kosong sebab Sandi masih belum berkabar. Pun karena ketidakhadiran Satya yang tak pernah gagal memperbaiki mood-nya walau kadang juga menyebalkan.

Pada istirahat pertama pagi ini, beberapa anak duduk di depan kelas. Tak terkecuali Rasi. Ia lebih suka menghindari kantin yang berdesak-desakan dengan tetap berada di kelas. Matanya kembali menatap hamparan halaman dimana banyak orang berlalu lalang. Kemudian seseorang melintas dan berhenti tepat di depan Rasi karena salah seorang teman sekelas Rasi mengajaknya berbincang.

“Hei, Tang! Gimana diklatnya?” tanya Tio kepada lawab bicaranya.

Rupanya Bintang. Ia baru dari kelas sebelah menemui rekan DA. Tio dan Bintang merupakan teman satu kelas sewaktu SMP. Hingga saat ini, keduanya masih berkomunikasi dengan baik.

“Lancar, kok.”

“Walaupun Sandi nggak ada?” tanya Bara yang baru saja keluar kelas.

Bintang mengangguk dengan raut muka yang tampak heran dengan Bara yang tidak ia kenal dekat tiba-tiba menyahut.

BILYWhere stories live. Discover now