27

22 1 0
                                    

“Mas Pandu.. Enggak buka restoran?”

“Mulai besok buka lagi.”

“Berarti besok Ayah juga pergi?”

“Sandi pokoknya harus cepat sembuh, biar bisa ke restoran Mas Pandu.”

Suara seorang laki-laki dewasa dari dalam ruangan itu membuat Rasi berhenti tepat di depan pintu. Sesaat kemudian Rasi tersenyum ketika ia melihat ke dalam ruangan dan mendapati Sandi, ibunya, dan dua pria dewasa yang tak lain pasti kakak serta ayah Sandi.

“Kenapa nggak masuk?” tanya Tari yang baru saja menyejajarkan langkah dengan Rasi.

Alih-alih menjawab pertanyaan Tari, Rasi terdiam. Rasi merasa dadanya berdegup kencang ketika ia memperhatikan wajah pria dewasa yang menghadap ke arah pintu sehingga terlihat jelas raut wajah itu. Rasi mengerjap. Ia mengenali wajah itu. Wajah dari lelaki yang tak bisa ia lupakan hingga saat ini. Bagaimana bisa ia lupa akan wajah dari seseorang yang mengendarai motor dengan terburu-buru di taman kota kala itu. Wajah dari seseorang yang menyebabkan nyawa ayahnya melayang karena kecelakaan motor kala itu. Wajah seorang ayah dari seorang anak berbaju biru bergambar Kapten Amerika yang Rasi bantu naik sepeda kala itu.

Rasi membalikkan badannya lalu menjauh dari pintu, diikuti Tari yang kebingungan sekaligus merasa kesal karena Rasi membuatnya mondar-mandir. Dengan jemari yang meremas-remas roknya, Rasi berjalan setenang mungkin walau matanya terasa cukup panas sebab menahan air mata di pelupuk matanya agar tidak menetes. Rasi berusaha mengendalikan diri dengan mengajak Tari menuju ke kafe dekat rumah sakit. Tari tak membantah dan mengikuti sahabatnya itu.

Setibanya di kafe, keduanya memesan minuman kesukaan masing-masing kemudian menempati salah satu meja di dalam kafe itu. Rasi menikmati vanila milkshake-nya perlahan. Tari yang duduk di hadapannya menatap Rasi dengan heran. Wajah Rasi terlihat sedikit lebih pucat. Tari berpikir mungkin itu alasan Rasi memintanya ke kafe. Rasi tampak kelelahan sehingga singgah sebentar di kafe untuk minum. Namun setibanya di kafe, Rasi tak berkata apa-apa. Sedari tadi Rasi terus menatap ke meja namun tak tampak seperti orang yang sedang melamun, melainkan memikirkan sesuatu.

“Ras, kalau gue nggak libur les, lo tetep mau kesini?” tanya Tari dengan intonasi yang menunjukkan kekesalannya.

Rasi menatap lawan bicara yang duduk di hadapannya dan melambungkan senyum tanpa rasa bersalah, “Enggak ya, mungkin.”

“Ya terus sekarang lo ngapain nggak sekalian jenguk? Udah sampai sini, loh..”

“Sandi pasti kangen banget sama ayahnya,” ucap Rasi dengan senyum tipis di bibirnya yang mulai memucat.

Tari mengernyitkan dahi mendengar perkataan Rasi yang tiba-tiba berbeda topik. Baiklah, mungkin Rasi mencoba bersikap penuh pengertian dengan membiarkan Sandi menghabiskan waktu bersama keluarganya. Rasi sendiri masih berusaha keras untuk mengendalikan detak jantungnya kembali normal. Begitu pula dengan buku-buku ruas jemarinya yang bertaut satu sama lain, yang ia sembunyikan dari Tari di bawah meja. Ia takut, ia marah, ia ingin berteriak sekencang mungkin.

»—«

Suasana kelas pagi ini tak berbeda jauh dari kemarin. Seuasai istirahat pertama nanti, kelas akan dipecah sesuai peminatan yang dipilih. Satya baru saja tiba di kelas tepat saat bel berbunyi. Beberapa temannya terheran-heran dengan Satya yang biasanya datang sangat awal. Satya tak menghiraukan itu dan memilih untuk duduk di bangkunya. Bara yang sedang memainkan ponselnya tetap asyik sendiri. Tio yang sedang membaca sebuah novel terlihat begitu terhanyut. Sementara Mentari yang sedari tadi berusaha menghubungi Rasi terlihat frustasi karena panggilannya tak terjawab.

BILYWhere stories live. Discover now