19

25 2 0
                                    

Satya melambaikan tangan kepada Rasi setelah turun dari bus. Ia mulai berjalan menuju rumah dengan masih memikirkan apa yang tadi Rasi katakan. Rasanya tak ingin langsung pulang ke rumah, ia ingin memastikan yang ia pikirkan saat ini tidaklah benar.

Kembali Satya melanjutkan perjalanan sebab Sandi, Bara, dan Tio sudah berencana untuk ke rumahnya sepulang sekolah ini, dan kemungkinan mereka telah tiba di rumahnya. Ketiga temannya itu sudah merencanakan sejak pagi dan Satya menyetujuinya. Sebenarnya Bara mengajak Satya untuk pulang bersama menggunakan motor, namun keadaan Rasi siang tadi membuat Satya tak bisa membiarkan Rasi berada dalam bus sendirian. Bisa-bisa gadis itu tertidur dan melewatkan pemberhentian bus. Lagipula Satya tidak membawa helm.

Sesampainya di depan rumah, Satya melihat tiga motor yang terparkir disana. Rupanya teman-temannya sudah tiba. Satya segera masuk ke rumahnya.

"Udah dari tadi?" tanya Satya kepada ketiga temannya.

"Nggak lama, sih," jawab Tio.

Bara mengalihkan matanya dari ponsel sebentar lalu menyesap minuman. "Sat, lihat esai Sejarah, dong. Lo udah, kan?"

Sebelum menjawab, seorang pedagang bakso tusuk keliling melintas di depan rumah Satya sehingga Bara menyergah untuk menawarkan siapa yang ingin membeli bakso. Ketiga temannya tak menolak. Sandi mengeluarkan dompetnya dari saku untuk mengambil uang. Ia meletakkan dompetnya dalam keadaan terbuka dan segera menyusul Bara yang sudah berada di luar.

Satya baru kembali dari kamarnya setelah mengambi esai Sejarah yang Bara minta. Melihat sebuah dompet yang tergeletak dalam keadaan terbuka, yang ia tau itu milik Sandi, Satya memperhatikan sebuah foto yang berada dibelakang lapisan mika bening dompet itu. Satya meletakkan bukunya serta selembar folio berisi hasil pekerjaannya tepat di samping dompet Sandi sebelum Satya meraih dompet itu.

"Satya, Tio, mau dikasih bumbu apa aja?" tanya Bara dari balik pintu.

Satya segera meletakkan dompet Sandi seperti sedia kala sebelum beranjak keluar rumah. Ia sangat tidak suka makanannya dibumbui oleh orang lain. Apalagi Bara yang suka ngawur. Sedangkan Tio yang lebih memilih melanjutkan membaca sebuah novel yang baru ia pinjam di perpustakaan tadi pasrah saja meskipun Bara memberi banyak sambal nantinya.

Sandi kembali terlebih dahulu setelah selesai membayarkan ketiga temannya. Ia duduk di tempatnya tadi. Melihat esai Satya di hadapannya, Sandi meraihnya untuk membaca. Namun pandangannya teralihkan oleh sebuah modul yang disampul plastik rapih. Sandi tak percaya itu milik Satya. Benar saja, nama Rasi tertera di sampul buku itu.

Sandi membuka halaman pertama. Tanpa sengaja atau bermaksud apa pun, Sandi menemukan secarik kertas yang membuatnya cukup penasaran. Daftar keinginan Rasi. Sandi tersenyum saat membaca poin ke empat, dimana namanya tertulis disana. Cepat-cepat Sandi meremas kertas itu di bawah meja sebelum Bara yang baru kembali menjadi heboh.

"Rasi nggak lo ajak sekalian, Sat?" tanya Tio.

"Habis ini ke rumah Rasi aja. Deket kan, Sat?" ujar Bara sambil memakan jajannya.

"Mending jangan sekarang. Lo nggak lihat tadi dia pingsan?" tanya Sandi.

"Lihat, lah! Orang lo gendong dia ala pangeran yang gendong putri salju," celetuk Bara membuat Sandi senyum-senyum.

Sandi berdecak sebelum menanggapi perkataan Bara, "Ya masa lo diem aja lihat orang pingsan."

"Rasi pingsan kenapa?" tanya Tio yang baru saja menutup novel yang sedari tadi ia baca.

"Gue aja tadi mau pingsan rasanya. Panas banget, sumpah! Nasib murid yang sekolahnya nggak punya GOR," kata Bara sambil meraih modul dan hasil pekerjaan Satya.

BILYWhere stories live. Discover now