25

23 2 0
                                    

Ujian praktik telah berakhir, khusus untuk kelas ini baru akan segera berakhir. Hari Senin ini kebetulan digunakan sebagai hari bebas untuk mengkondisikan kelas-kelas peminatan Ujian Nasional sesuai minat dan pilihan setiap siswa kelas XII. Namun kelas Rasi harus menyelesaikan satu mata ujian terlebih dahulu sebab Jumat kemarin hujan menjadi hambatan. Untung saja, hari ini tidak ada upacara bendera karena kelas X dan XI sedang melaksanakan UTS.

Rasi sebenarnya tidak ingin pergi ke sekolah karena ia merasa tidak enak badan. Namun jika ia tidak menuntaskan ujian praktik dapat berisiko terhadap kelulusannya. Terlebih, hari ini ia bertekad untuk bertemu Satya karena kemarin sore keduanya belum jadi bertemu. Rasi berniat meminta maaf atas apa yang sudah ia katakan kemarin.

Baru menyelesaikan sarapannya, suara klakson motor yang sangat familiar sudah terdengar. Satya pasti sudah di depan rumah. Bening memastikan bahwa Rasi sudah membawa bekal untuk Rasi bersama obat yang harus Rasi minum siang nanti barangkali ia masih di sekolah.

“Jangan capek-capek ya, sayang. Kalau udah selesai ujian praktiknya nanti langsung istirahat aja di tempat teduh. Minta temenin Tari atau Satya, ya?”

“Iya, Ma.. Nanti bisa langsung pulang kok kalau udah selesai.”

“Ya udah hati-hati, sayang.”

“Iya, Mama.. Berangkat dulu, Ma, Raf,” pamit Rasi kepada Bening dan Rafi yang masih melahap sarapannya.

Rasi keluar dari rumahnya dan mendapati Satya sedang berdiri di samping motor tuanya. Satya tetaplah Satya, ia menampilkan wajah cerianya di hadapan Rasi seperti biasa. Sementara Rasi tersenyum lebar sembari mengenakan helmnya. Keduanya tampak saling bersandiwara, menyembunyikan lukanya masing-masing.

“Cerah banget,” ucap Satya sambil menatap langit. “Soalnya ada yang bahagianya masih kerasa sampai hari ini setelah kencan sama doi kemarin.”

Rasi tertawa. Satya selalu berhasil membuatnya salah tingkah jika menggurau tentang Sandi.

“Kalau lo kayak gitu di depan Sandi gue malu banget, At..”

“Iya.. Nggak gue ledekin.”

Tanpa berlama-lama lagi, keduanya bergegas menuju sekolah. Jalanan cukup ramai karena ini hari Senin. Jam masuk sekolah pun hampir tiba namun Satya dan Rasi masih berkutat di salah satu titik kemacetan kota. Jika saja berangkat lebih awal, mungkin kemacetan di titik ini belum begitu parah.

Bising klakson dan deru kendaraan membuat Rasi cukup pusing. Kepalanya mulai berdenyut lagi, membuat gadis itu memejamkan matanya beberapa saat sampai motor tua itu bebas dari kemacetan. Satya pun menambah kecepatan motornya sebelum keduanya terlambat ke sekolah. Akhir-akhir ini, penjaga gerbang sekolah cukup ketat dan disiplin. Meresahkan.

“At, gue udah denger soal.. Embun..” ucap Rasi saat tiba di parkiran sekolah.

“Dari Ibu, ya?” timpal Satya sembari menarik senyum di sudut bibirnya.

“Gue minta maaf ya, karena udah asal bicara tanpa tau apa-apa.”

Satya mengarahkan spion ke wajah Rasi sebelum kemudian berkata, “Iya.. dimaafin.”

“Gue juga mau berterimakasih. Buat semua hal baik yang lo lakuin buat orang-orang di sekitar lo, termasuk gue. Yang lo lakuin selama ini udah cukup nunjukin kalau lo itu manusia baik, At. Lo nggak pernah ngelukain siapa pun. Banyak hal di masa lalu yang emang terjadi di luar kendali kita. Jadi.. stop ngerasa bersalah atas hal-hal yang udah terjadi, ya? Itu bukan salah lo.”

Satya memalingkan wajahnya dari spion agar Rasi tak melihat mata Satya yang sepertinya mulai berkaca-kaca. Namun Rasi menyadari hal itu. Ia lantas menepuk-nepuk bahu Satya, membuat Satya justru tak bisa membendung air matanya. Satya menangis, namun bukan karena apa yang tadi Rasi katakan. Melainkan rasa sedih yang ia rasakan saat tahu bahwa sahabat yang memberinya nasihat itu mungkin lebih terluka darinya. Juga Rasi yang seharusnya tak terus menerus menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi kepada ayahnya.

BILYWhere stories live. Discover now