11

27 2 0
                                    

“Rasi..!”

Rasi yang baru saja terpanggil namanya menghentikan aktivitasnya mengunyah suapan terakhir di mulut. Ia mengelap mulutnya dengan tisu kemudian bergegas meninggalkan meja makan ini. Tiba di ruang tamu, Rasi terkekeh melihat Satya tengah bertengger di pintu dengan helm hitam di kepala.

“Loh, nggak ngasih tau kalau mau bareng,” ucap Rasi setelah menelan suapan terakhirnya.

“Kalau udah siap langsung berangkat, ya?”

Rasi memang baru saja menyelesaikan sarapan dan berniat untuk segera berangkat karena ia merasa sudah kesiangan. Baguslah Satya datang menjemputnya. Rasi mengambil tas dan helmnya di kamar kemudian berpamitan kepada Bening yang ternyata masih berada di kamar mandi. Rafi yang masih memastikan kartu peserta ujian sudah ia masukkan ke tas, tak menggubris kakaknya yang berpamitan padanya untuk berangkat lebih dulu. Ia terlalu fokus pada Ujian Sekolah yang sudah berlangsung sejak kemarin.

Satya sudah siap menjalankan motor tua kesayangannya itu. Jarang sekali Satya membawa motor itu ke sekolah sebab ia memang lebih sering menggunakan bus baik untuk berangkat maupun pulang sekolah. Katanya, agar ia bisa beristirahat kala pulang dengan lelah. Rasi yang baru keluar dari rumah berjalan mendekati Satya sambil memakai helm kuningnya.

“Tumben bawa motor, At?” tanya Rasi saat motor tua ini sudah memasuki jalan raya.

“Iya. Soalnya mau jengukin doi sahabat gue.”

Rasi terkekeh. Mood-nya bagus sekali pagi ini berkat Satya yang sedari kemarin Sabtu tak berkabar tiba-tiba datang menghampirinya. Kadang, perkataan lawak Satya bisa sangat mengobati gundah di benak Rasi. Seperti saat Satya menjelaskan bahwa kemarin ia menghilang karena kehabisan kuota internet lantas menjual ponselnya untuk membeli kuota internet dari hasil menjual ponsel tersebut. Atau saat Satya berkata bahwa ia pergi ke Kantor Badan Forensik Nasional untuk tes DNA barangkali ia bukan keturunan ayahnya sebab tak ada kemiripan fisik sama sekali di antara keduanya.

Setibanya di sekolah, Rasi dan Satya berjalan menuju kelas sambil berbincang perihal Ujian Praktik dan Ujian Nasional yang mana menjadi hal terakhir yang perlu ditempuh. Secepat itu masa-masa indah di tingkat menengah atas akan berakhir. 

Keduanya berhenti di depan sebuah kelas ketika seorang siswi memanggil nama Satya. Rupanya teman satu angkatan, juga teman satu SMP Satya. Namanya Aluna. Sebuah paper bag Aluna serahkan kepada Satya agar Satya memberikannya kepada Sandi sebab Aluna tak bisa memberikannya secara langsung. Satya pun mengindahkan permintaan tolong teman satu SMP-nya itu.

Setelahnya, Rasi dan Satya memasuki kelas dan mendapati beberapa anak berkumpul di meja Satya tengah membicarakan kecelakaan Sandi.

“Serius! Gue selama ini nggak pernah liat bokapnya Sandi, apalagi kakaknya.”

“Setau gue orang tuanya udah cerai dari dulu, iya kan?”

“Kalau gue perhatiin, Sandi kemarin seger banget mukanya padahal baru sadar dari sekarat.”

“Heh! Bicara lo!” sergah Satya ketika tiba di bangkunya mengetahui Bara dan Tio tampaknya membicarakan Sandi dari tadi.

Bara menyengir seolah tak bersalah mendengar kawan sebangkunya menegur.

“Sumpah, Sat! Sandi ceria banget kayak nggak pernah ketemu bokapnya seumur hidup.”

“Tiap orang punya cara bahagianya sendiri, Bar. Selagi punya waktu buat bahagia, kenapa nggak dinikmati?” sahut Rasi yang kini sudah duduk di bangkunya.

“Sebahagia kalau lo lihat Sandi, ya?” ucap Bara sambil tertawa meledek.

Memang sebaiknya Rasi diam. Pada akhirnya ia selalu diledek.

BILYWhere stories live. Discover now