23

18 1 0
                                    

"Bu, aku pulang besok siang, ya?"

Asih menghela napasnya perlahan. Ia mengerti putranya sedang tidak baik-baik saja sejak kemarin. Mungkin ini juga pertama kalinya Satya bersikap seperti itu. Ia lebih banyak diam dan terlihat murung hingga berlarut-larut sejak kemarin.

"Mas.. sebenarnya ada masalah apa?"

Satya yang sudah selesai membenahi baju di tasnya lantas duduk di samping ibunya.

"Besok aku cerita ke Ibu kalau udah pulang."

"Mas yakin, disana sendirian dan mau nginep sampai besok?"

"Iya, Bu. Ayah juga udah ngizinin, kok."

"Ya sudah. Hati-hati di jalan, Mas."

Satya memanasi motornya sebentar sebelum bergegas pergi. Ia hendak menuju ke rumah almarhum kakeknya di luar kota. Satya pikir, sejenak menghabiskan waktu sendiri tak masalah. Meskipun sikapnya yang tak biasa itu tak dapat ia sembunyikan, Satya tetap tak mau mengatakan masalah apa yang sedang ia hadapi sampai membuatnya murung.

Sesuatu memang kerap kali terjadi diluar keinginan manusia. Satya berharap segalanya baik-baik saja hingga Ujian Nasional selesai nanti. Pada kenyataannya, pikirannya justru kacau karena rasa marah, kecewa, dan juga rasa bersalah. Satya tak pandai mengatasi hal-hal seperti itu. Juga karena sebelum-sebelumnya ia jarang mengalami suatu hal yang membuatnya pusing selain ujian-ujian yang sudah ditempuh.

Satya mampir sebentar ke toko kue untuk membeli sebuah tart. Wajah murungnya membuat pramuniaga di toko itu bingung karena Satya hanya menatap sebuah tart di etalase. Saat Satya mengalihkan tatapannya ke pramuniaga itu, baru lah pramuniaga itu melayani pembelinya yang tampaknya cukup sering datang ke toko ini.

"Silakan, Mas. Mau yang mana kuenya?"

"Yang Tinkerbelle, Mbak."

"Oh, iya. Dikasih tulisan, Mas?"

Satya mengangguk.

"Siapa nama yang ulang tahun?"

"Eh.. bukan ulang tahun, Mbak. Kasih tulisan nama aja."

"Oh, iya. Silakan ditulis namanya disini, Mas," ucap pramuniaga itu sambil memberikan kertas dan bolpoin.

Setelah Satya menuliskan nama, pramuniaga itu mulai menuliskan nama di kertas itu ke kue tadi menggunakan krim. Satya sendiri kembali menundukkan kepalanya dengan wajah murungnya itu hingga pramuniaga mengatakan kuenya sudah siap sehingga Satya segera membayar di kasir terlebih dahulu.

Pramuniaga itu membaca kembali tulisan dari krim yang tadi ia tuliskan di kue untuk memastikan, "Benar ini tulisannya, Mas?"

Satya memperhatikan sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

"Kinara Embun Mahika. Gitu aja, Mas?"

"Iya, Mbak."

Pramuniaga itu membungkus kue tadi dengan kotak kardus lalu dimasukkan ke dalam plastik. Baru ia menyerahkannya kepada Satya sambil berkata, "Nama pacar Mas bagus juga."

"Makasih, Mbak. Itu nama adik saya," kata Satya sambil berlalu pergi dengan senyuman hangat.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam, Satya rehat di rumah almarhum kakeknya karena hari sudah mulai berganti bersama hujan yang membasahi bumi. Baru keesokan harinya ia pergi ke suatu tempat dengan berjalan kaki. Tart yang ia bawa kemarin pun masih terbungkus rapih walau beberapa sisi krimnya mungkin menempel pada kardus pembungkusnya.

Tibalah ia di sebuah pemakaman, menelusuri beberapa blok hingga akhirnya menemukan sebuah papan nama bertuliskan "Kinara Embun Mahika". Satya duduk di samping makam itu, mengelus papan nama makam itu, kemudian meletakkan tart yang telah ia buka bungkus kardusnya di atas batu nisan.

BILYWhere stories live. Discover now