4

50 2 0
                                    

Rasi mengikuti perkataan Satya. Ia ke rumah Satya terlebih dahulu untuk diobati dan berencana segera pulang setelahnya. Asih, ibu Satya, menyambut hangat kedatangan Rasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa Asih terkejut melihat celana panjang Rasi yang robek disertai bekas darah di bagian lutut. Asih menyuruhnya duduk lalu segera membuatkan minum, sementara Satya mengambil kotak obat.

"Kok bisa sampai seperti itu, Nduk?" tanya Asih sekembalinya dari dapur sembari menyuguhkan minum kepada Rasi.

Rasi terkekeh walau sebenarnya ia merasa kesakitan. "Tadi Rasi jatuh Tante. Atya naik sepedanya kenceng banget."

"Salah siapa nyubit. Kan, jadi lepas kendali," sahut Satya sambil berjalan menuju ke ruang tamu dengan kotak obat di tangannya.

"Sudah, sudah. Kalian malah saling menyalahkan, to. Mas, obatin Rasi terus langsung dianter pulang. Takutnya Rasi kedinginan jadi masuk angin."

Satya pun mengindahkan perkataan ibunya.

Panggilan "Mas" untuk sahabatnya yang satu itu tidak jarang Rasi dengar. Meski begitu masih tetap terdengar aneh di telinga Rasi. Ibunya memang masih memiliki darah sebagai keturunan Keraton sehingga keluarga kecil ini masih cukup kental dengan adat Keraton. Namun, bagi Rasi, "Mas" tetap tidak sesuai untuk memanggil Satya yang tak lain adalah seorang anak tunggal. Terkecuali jika memang Satya merupakan anak sulung, atau setidaknya memiliki saudara yang lebih muda.

Selepas mengobati luka Rasi, Satya berbenah dan akan segera mengantar Rasi pulang. Awalnya Asih menawarkan agar Rasi makan terlebih dahulu. Namun karena gemuruh guntur mulai terdengar, Rasi memilih untuk segera pulang. Satya pun setuju. Ia tak mau kehujanan di jalan, baik waktu mengantar Rasi pulang maupun sekembalinya ia mengantarkan Rasi. Satya juga tidak ingin ayahnya tau kalau ia membuat Rasi jatuh. Pasti Wahyu, ayah Satya, akan memberi petuah seolah Satya melakukan kesalahan yang amat besar. Beruntung sekali Rasi, banyak orang yang menyayanginya seperti keluarga sendiri.

Sesampainya di depan gerbang rumah, Rasi turun dari motor Satya. Satya segera pulang setelah berpamitan dari depan gerbang kepada Bening yang berdiri di depan pintu.

"Loh! Tar?" panggil Rasi kepada sahabatnya yang tengah duduk di ruang tamu.

Tari melambaikan tangannya. "Hai!"

Rasi masih menautkan kedua alisnya sebab kedatangan Tari membuatnya bertanya-tanya. Namun setelah ia ingat-ingat kembali, rupanya Tari datang untuk memberikan kertas folio titipannya siang tadi.

"Sorry, Tar. Udah lama nunggunya?"

"Belum lama banget, sih. Cepetan.. sebelum hujan!"

Tari menarik pergelangan tangan Rasi hingga keduanya berada di kamar Rasi. Rasi kebingungan. Sampai Tari mengingatkannya soal perkataan Rasi yang tadi pagi belum selesai, mengenai Elbhanu Wave. Rasi pun menejelaskan dengan runtut. Tari memperhatikan dengan seksama. Terkejut? Pasti.

"Demi Tuhan?! Wah!" pekik Tari dengan histeris.

"Lo tau nggak, gue ngerasa jadi orang terhormat bisa temenan sama calon presdir muda yang cantik jelita membahana ini!" lanjut Tari yang masih terperangah dengan apa yang baru ia dengar. Bisa dibayangkan bagaimana ekspresi dan intonasi sahabat Rasi itu.

"Tunggu, tunggu. Kak Dhimas kesini sendiri apa sama siapa gitu?" tak usai juga Tari melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk memuskan rasa penasarannya.

"Sendirian. Kenapa?"

"Syukurlah, masih lajang," ucap Tari lagi-lagi membuat Rasi mengernyitkan dahi. "Anyways, lo yakin Kak Dhimas bisa dipercaya, Ras?"

Rasi mengangguk tanpa keraguan. "Buktinya dia setanggung jawab itu, sampai ninggalin ayahnya yang lagi sakit demi menyampaikan amanahnya."

BILYWhere stories live. Discover now