28

24 1 0
                                    

Suara monitor jantung yang terdengar menggema di ruangan bernuansa putih ini tak lebih kencang dari degup jantung Sandi. Rasa cemas dan khawatir masih merengkuhnya. Ia memperhatikan baik-baik gerakan dada setiap hembusan napas dari seorang pria dewasa yang tengah terbaring di hadapannya. Kantung mata pria itu terlihat begitu menghitam seolah mengisyaratkan begitu banyak hal yang telah membelenggu di dalam benaknya, begitu banyak hal berat yang pasti telah dilaluinya. Seno, pria itu, ayah Sandi, menggerakkan jemarinya perlahan. Sandi yang menyaksikan itu memperhatikan kembali mata ayahnya yang sayup sayu mulai terbuka.

"Ayah.." panggil Sandi dengan mata berbinar sekaligus nanar karena air matanya yang mengumpul di pelupuk mata.

Seno belum merespon kecuali dengan kedipan matanya dan senyuman bersama hembusan napas yang terbungkus pada masker oksigen itu.

"Sandi panggil dokter dulu, ya?"

Langkah Sandi terhenti ketika ia merasa Seno mencegahnya, mencekal lengannya dengan tenaga yang Seno punya. Sandi mendekatkan diri barangkali ada yang ingin ayahnya katakan.

"San.." suara Seno terdengar cukup jelas.
"Ayah tadi bermimpi ketemu anak kecil itu."

Mendengar perkataan ayahnya, Sandi menggenggam jemari ayahnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Ayah ingin ketemu sama dia untuk meminta maaf. Kamu bisa menemukan dia?"

Sandi menundukkan kepalanya bersamaan dengan air matanya yang mulai mengalir. Sesaat kemudian ia mengangguk.

"Anak kecil itu ternyata teman sekelas Sandi, Yah."

Seno tersenyum kemudian mengulangi perkataannya, "Ayah ingin bertemu sama dia. Ayah ingin minta maaf."

Sandi tak dapat menahan isakannya, namun ia mencoba berbicara dengan jelas, "Dia sakit, Yah."

"Dia sakit..?" tanya Seno dengan paraunya.

"Iya," ucap Sandi sambil sekali mengisak.

"Dia sakit kanker stadium akhir. Sandi akan bantuin dia. Sandi akan donorin tulang belakang Sandi buat dia, Yah. Dia yang nolongin Sandi waktu Sandi kecelakaan, dia yang donorin darahnya ke Sandi, Yah."

"Golongan darah kalian sama? Tapi itu bahaya untuk Sandi.. Ayah saja yang menggantikan Sandi."

Sandi menggeleng dengan cepat. "Sandi bisa, Yah."

Tepat di akhir kalimatnya, Sandi mendengar derap langkah memasuki ruangan ini. Pandu dan Mariam baru datang kembali setelah mengambil beberapa keperluan di rumah Seno. Mariam yang menyaksikan Seno telah tersadar merasa begitu senang, Pandu pun tak kalah bersyukurnya. Setelah meletakkan tas jinjing berisi beberapa pakaian, Pandu lantas keluar ruangan untuk memanggil dokter.

Setelah pemeriksaan, dokter berkata bahwa kondisi Seno sudah lebih baik dari sebelumnya, membuat keluarganya begitu bersyukur mendengarnya. Dokter dan perawat segera meninggalkan ruangan ini. Mariam kemudian berusaha mengajak Seno berbicara. Sementara Sandi mengajak kakaknya untuk keluar dari ruangan karena ingin mengatakan suatu hal. Pandu cukup bingung dengan sikap adiknya yang terlihat seperti orang gelisah dan ketakutan, namun ia mengikuti perkataan adiknya dan keluar dari ruangan ini.

"Mas, Sandi butuh bantuan Mas Pandu."

"Bantu apa?"

"Bantu ayah buat jadi pendonor operasi sumsum tulang belakang buat temen Sandi, Mas. Dia adalah anak dari orang yang waktu itu ketabrak ayah," ucap Sandi sambil berusaha menahan air matanya.

Pandu yang mendengar perkataan Sandi sangat terkejut sekaligus bingung sebab Sandi berbicara begitu cepat.

"Jelasin pelan-pelan, San."

BILYWhere stories live. Discover now