23. Menuju awal baru

1.5K 135 22
                                    

-o0o-
H A P P Y
R E A D I N G
-o0o-

Kata orang, cinta datang karena terbiasa. Jika sering bertemu, maka akan jatuh cinta. Mungkin, hal itu memang dirasakan Alfi, gadis cantik anak dari seorang Kyai besar itu membuktikan bahwa cinta hadir tanpa aba-aba.

Mencintai merupakan anugerah bagi setiap insan di dunia, namun untuk dicintai mungkin itu sebuah keberuntungan. Cinta sejati tidak selamanya memiliki, itu prinsipnya.

Mencintai Raihan bukanlah hal yang Alfi inginkan. Raihan hadir dalam hidupnya tanpa ia minta. Raihan seperti angin yang hanya lewat tanpa ingin menetap. Bagi Alfi, Raihan itu seperti udara. Terasa keberadaannya namun tak bisa ia genggam.

Raihan dan Alfi seperti air dan api, tidak akan pernah bisa bersatu. Jika air berusaha mendekat, maka harus merelakan api itu padan. Dan jika api yang nekat, maka sama saja dia memadamkan cahayanya sendiri.

Mencintai Raihan itu rumit, lebih rumit daripada mempelajari nahwu Sharaf. Mencintai Raihan itu sulit, lebih sulit dari mengkhatamkan kitab Alfiyah. Mencintai Raihan itu seperti menyakiti diri sendiri, karena memang, Raihan tercipta bukan untuk dimiliki, melainkan untuk diketahui.

Namun sayangnya, hati dan pikiran tidak bisa dibohongi. Hatinya selalu menyebut nama laki-laki berprofesi dokter itu. Pikirannya terus berputar berfokus pada sosok Raihan Alfarisi. Apa daya, Allah menciptakan rasa bukan untuk menjadikan pelampiasan semata. Berdoa adalah cara paling ampuh untuk meminta dia dari pemilik sejatinya.

Lelah? Tentu saja Alfi lelah, dia hanya manusia biasa. Dia hanya menunggu jalan mana yang telah Allah siapkan untuknya. Jika memang Farhan jodoh yang Allah siapkan, maka Alfi akan belajar mencintai laki-laki itu untuk yang kedua kalinya.

Alfi menatap sendu sebuah undangan dengan warna mocca motif batik. Dia menyeka air matanya, semua sudah terlambat.

Alfi membuka undangan pernikahan itu. Namanya tertera jelas di sana, bukan hanya namanya, namun juga nama Farhan di sana.

Dua Minggu lagi, pernikahan itu akan terjadi. Tidak ada penolakan dari pihak Alfi, karena dia yakin, ini merupakan keputusan terbaik.

Bagaimana dengan Raihan? Entahlah, Alfi tidak pernah mengetahui keberadaan laki-laki itu selama dua bulan belakangan. Mungkin, dia sedang sibuk. Atau malah, memiliki kekasih baru di sana. Sudahlah, lupakan saja.

"Mungkin, kamu benar, aku dan kamu hanya sebatas teman. Dua Minggu lagi kita akan menjadi kakak dan adik ipar. Sekarang, aku paham, bahwa Kamu hadir, untuk membuatku sadar, bahwa cinta, tidak selamanya berakhir bahagia. Terima kasih dokter Raihan Alfarisi." Alfi menatap nanar sebuah undangan pernikahan berwarna mocca dengan senyum tipis seolah dia baik-baik saja.

Tiba-tiba, tangan yang awalnya memegang undangan, ditarik paksa oleh tangan lain.

Sontak, Alfi mendongak, berusaha melihat tangan siapakah itu.

"Cinta tidak selamanya bahagia, kakak tau itu. Tapi, apa kamu sudah sepenuhnya berjuang?"

Alfi membisu, bahkan dia lupa kapan terakhir kali dia berusaha mendekati Raihan.

"Banyak yang bilang, cinta itu datang karena terbiasa. Mungkin, kamu bisa mencoba hal itu kepada Farhan. Dia laki-laki yang bertanggung jawab, sama seperti Raihan."

Alfi tetap diam, baginya memikirkan semua ini membuatnya muak. Kepalanya seperti ingin pecah!

"Alfi, dengerin kakak. Menikah itu ibadah, menjalankan Sunnah Rasulullah. Jangan pernah bermain-main dengan pernikahan. Mulai sekarang, lupakan Raihan. Farhan ada di depanmu, dia mungkin tidak semenarik Raihan di matamu. Tapi, apa salahnya mencoba menerima?"

Dokter Kampret ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang