25. Waktu yang tidak tepat

1.3K 121 5
                                    

-o0o-
H A P P Y
R E A D I N G
-o0o-

Raihan baru saja keluar dari sebuah masjid besar di daerah Jakarta pusat. Laki-laki dengan baju Koko berwarna navy, celana hitam lengkap dengan pecinya sedang duduk di serambi Masjid.

Sesekali ia melirik pergelangan tangannya. Raihan menghela napas ketika melihat jarum pendek di angka lima. Tidak menunggu lama, tiba-tiba seseorang ikut duduk di samping Raihan.

"Kenapa? Kok gelisah?"

Raihan tidak menjawab.

"Ck! Kalo ditanya itu jawab, jangan cuma diem. Gue bukan cenayang yang bisa tau isi pikiran lo!" Sarkas orang yang duduk di samping Raihan.

"Lebih baik lo gak usah tau. Atau lo bakal bingung cara mikirnya, Gisel."

Gisel menggeram jengkel, dia tau bahwa Raihan sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang sangat berat, maybe.

"Gimana tadi?"

Kening Gisel berkerut. "gimana apanya?"

"Tausiyahnya. Udah yakin sama Islam? Jangan memutuskan memeluk Islam hanya karena hal duniawi. Demi Allah, gue bakal merasa bersalah jika itu terjadi. Islam tidak pernah memaksa kehendak, dan gue harap lo juga gak kepaksa. Lo harus tau Gisel, saat gue bilang gue mau jadi sahabat lo, maka sejak itu apa yang menyangkut lo bakal Tuhan tanyain. Karena Tuhan tau, gue sahabat lo dan lo sahabat gue. Maka dari itu, gue pengen jadi sahabat yang baik buat lo, yang menuntun lo menuju kebenaran. Tapi sekarang gue tau, gak ada persahabatan antara lawan jenis. Interaksi kita udah berlebihan Gisel, maaf."

Gisel diam, mendadak dia seolah bisu. Perkataan Raihan begitu lembut namun menusuk. Dari awal, Gisel tau bahwa Raihan bukan orang yang bodoh. Raihan manusia yang cerdas. Dia pintar, pintar membuatnya jatuh terhempas seketika.

"T-tapi ... Kenapa? Kenapa lo seolah kasih harapan? Kenapa seolah lo kasih ruang ke gue buat masuk dalam kehidupan lo?"

"Karena gue gak tau! Gue gak pernah tau kalau lo berpikiran gitu. Gue cuma manusia biasa, Gisel. Selama seminggu ini, gue sadar, lo gak bener-bener mau masuk Islam. Saat gue bahas tentang Agama, lo mandang gue dengan tatapan beda. Gue gak mau kasih harapan lagi, Sel. Gue gak bisa...," Lirih Raihan frustasi.

Gisel menangis saat itu juga, harapannya musnah. Harapan bisa bersanding dengan Raihan, kini sudah hilang. Laki-laki itu sungguh membuat perasaannya hancur berkeping-keping. Mati-matian Gisel memendam perasaan selama hampir delapan bulan. Selama delapan bulan pula, Raihan begitu memperhatikannya seolah dia adalah orang yang spesial di hati Raihan. Namum nyatanya nihil, Raihan hanya iba. Tidak lebih.

"Gisel, gue minta maaf. Gue gak bermaksud kasih harapan, gue cuma mau hibur lo sebagai seorang sahabat. Selama ini, gue hanya nganggap kita sebatas teman, nggak lebih. Waktu tau kalau lo anak broken home, gue ngerasa lo adalah gue. Gue gak mau, lo rasain apa yang gue rasain selama ini. Gue gak mau lo tau rasanya nggak dipeduliin sama orang tua lo, dibenci sama keluarga lo dan di banding-bandingkan dengan orang lain, karena gue tau, itu gak enak. Gue cuma mau kasih kebahagiaan walaupun cuma sedikit. Gue pengen lo kuat hadapi kejamnya dunia, dunia nggak selamanya ada di pihak lo. Dan maaf, soal perasaan lo, gue gak bisa kasih harapan lebih selain hubungan pertemanan. Untuk kedepannya tolong batasi interaksi kita, karena secara tidak langsung, gue udah berdosa."

"Raihana, selama ini gue kira perhatian lo ke gua nggak terpaku pada hubungan pertemanan. Gue kira, lo juga suka sama gue. Nyatanya, realita tak seindah ekspetasi. Lo hadir seperti mentari bagi gue, lo menerangi hidup gue yang gelap gulita. Gue hancur saat tau nyokap gue selingkuh sama rekan kerjanya. Gue nggak tau lagi harus gimana waktu itu, bokap ninggalin Indonesia karena tau nyokap selingkuh. Dunia gue hancur Rai, tapi, semenjak lo hadir, gue merasa gue masih punya kesempatan untuk bahagia. Dari sanalah, perasaan aneh dalam hati gue muncul. Gue cinta sama lo, gue tau kita beda dan gak mungkin bisa bersatu. Maka dari itu, gue pengen belajar lebih mengenai Islam agar gue punya kesempatan untuk menjadi bagian dalam hidup seorang Raihan Alfarisi. Tapi mungkin, perasaan ini bukan cinta. Ini hanya obsesi. Gue gak bener-bener cinta sama lo, cinta adalah karunia dari Tuhan. Tapi cinta gue ke elo malah mengorbankan Tuhan. Sekarang gue paham, kalau cinta tidak selalu happy ending. Tidak ada yang bisa menebak alur hidup selanjutnya. Mungkin saja, kita dipertemukan untuk menjalin simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Bener kata lo, interaksi kita sudah berlebihan. Setelah ini, gue mau fokus ke karir gue yang stuck karena masalah keluarga. Semoga jodoh lo lebih baik dari gue, mencintai lo apa adanya tanpa ada obsesi."

Dokter Kampret ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang