14. Orang asing

1.6K 148 9
                                    

-o0o-
H A P P Y
R E A D I N G
-o0o-

Suara riuh para santri yang sedang menyapu, menjadi ketertarikan tersendiri bagi Alfi. Menurutnya, menyapu halaman asrama, kelas, rumah pengurus, aula, ruang takdzir dan seluruh kawasan pesantren merupakan hal yang sangat dirindukan Alfi.

Enam tahun dia belajar di pondok pesantren, membuat dia begitu rindu suasana riuh seperti ini. Apalagi ketika tidak sengaja berpapasan dengan santri putra. Beuh, peristiwa begitu langka. Dia teringat kisah cinta teman sepantarannya saat duduk di bangku Aliyah, cinta diam-diam temannya pada salah satu santri putra, kini sudah terbayar lunas. Iya, mereka menikah beberapa waktu lalu. Ah, indah bukan mencintai seseorang dalam diam?

Menurutnya, peristiwa paling dirindukan saat di penjara suci adalah, saat di mana mereka akan mengantri untuk mandi. Alfi ingat betul, gayung, ember dan peralatan mandinya bisa musnah tanpa jejak dalam sesaat. Hingga Ummi dan Abah yang menjenguknya pasti akan membawa alat-alat mandi yang baru. Selain alat-alat mandi, juga ada benda yang menjadi langganan para tuyul pesantren. Sandal! Benda itu sangat rawan hilang, apalagi jika sandal itu baru. Fix, para tuyul pesantren sangat tergoda. Oh iya, sarung juga benda yang sering digondol anak dapur umum. Saat ditinggal pulang dan lemari lupa dikunci, sudah! Jangan berharap sarungmu aman. Lihat saja, sarung-sarung yang tidak berdosa itu akan berakhir untuk mengelap kompor.

Sepertinya Alfi terlalu merindukan suasana itu, sekarang dirinya bukan lagi menjadi santri. Melainkan menjadi ukhti pengajar.

"Eh Ning Alfi, selamat pagi Ning," sapa salah satu santriwati yang tengah menyapu halaman asrama. Alfi menoleh, dia tersenyum dan mengangguk.

"Selamat pagi juga."

Saat mendengar suara Alfi, beberapa santriwati yang awalnya sibuk dengan pekerjaannya, kini berlarian mendekati Alfi. Secara bergantian, mereka menyalami Alfi penuh hormat. Inilah alasan mengapa Alfi selalu betah berada di sini. Santri sangat menjunjung tinggi nilai kesopanan di atas ilmu. Sopan dulu, baru menggali ilmu.

"Ning, njenengan nderek mboten teng acara tabligh Akbar santri Nusantara?"
(Ning, anda ikut tidak di acara tabligh Akbar Santri Nusantara?)

Alfi mengerutkan keningnya, dia baru tau ada acara tabligh Akbar. "Kapan acaranya? Saya 'kok belum tahu?"

"Hari Ahad Ning, di depan masjid gede. Pesantren kita menjadi penyelenggara."

"Katanya Abah Kyai, bakal banyak santri yang ikut loh. Lumayan, bisa nengok kang Santri," sahut santriwati berjilbab ungu.

Alfi menggelengkan kepalanya pelan. "Semua itu tergantung niatnya, kalian ikut tabligh Akbar niatnya apa?"

Para santriwati itu saling berpandangan. "Menuntut ilmu." Santriwati yang tadinya membawa ember kini maju beberapa langkah. "Sama cuci mata gak apa-apa, 'kan, Ning?" Tanyanya dibalas sorakan santri lainnya.

"Kalian ini, kita sebagai wanita harus bisa menjaga pandangan. Gak apa-apa dibilang sok mahal, kita memang mahal. Dengan kita menundukkan pandangan, maka kita juga bisa dengan mudah mengendalikan hawa nafsu."

"Kok temen saya banyak yang pacaran ya, Ning?"

"Itu tandanya dia belum paham tentang larangan pergaulan antara perempuan dan laki-laki. Kita sebagai saudara semuslim, harus saling mengingatkan. Kalau bukan kita yang mengingatkan siapa lagi? Tentang dia yang menjalankan atau mengabaikan, itu sudah menjadi urusan Allah. Yang penting kita sudah berusaha membawa dia ke jalan yang benar," jelas Alfi dengan senyuman yang terus saja hinggap di wajahnya.

Dokter Kampret ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang