:: Bab 2 ::

7.8K 879 78
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Ada alasan kenapa setiap hadir di kondangan banyak tamu yang lebih sering mengucapkan, "selamat menempuh hidup baru", alih-alih "selamat berbahagia". Bukannya karena tidak mau mendoakan kebahagiaan pasangan yang sedang menikah, tapi karena after marriage is really a brand new life. A next level of life's phase.

Like, literally. Vani benar-benar merasakannya setelah mendapat tatapan tidak santai dari Eyang Sri dari tadi pagi. Mata wanita itu seperti CCTV yang mengawasi gerak-gerik Vani selagi menyiapkan sarapan. Tidak nyaman, tentu saja. Apalagi setiap Vani bertanya, Eyang Sri memilih untuk berkilah.

Vani menarik napas dalam-dalam. Suasana sarapan di meja makan mendadak terasa lebih tegang dari yang dibayangkan. Padahal bayangannya tadi malam, dia bisa menikmati sarapan dengan santai dengan keluarga barunya. Perempuan itu juga yakin Eyang Sri semalam tidak setegang sekarang.

"Agak keasinan, ya?"

Otomatis Vani keselek di kursinya. Dia buru-buru mengambil segelas air dan meneguk minumannya. Disaat yang sama, dia juga melihat bibir Eyang Sri yang mencebik. Ya Tuhan, itu bukan pertanda bagus kan?

"Nasi gorengnya?" tanya Kafie kepada eyangnya yang duduk di seberang meja. Pria itu menyuap satu sendok dan menimbang-nimbang. Kemudian, "Enak, kok."

Vani baru saja mau mengembuskan napas lega, tapi langsung ditahannya lagi ketika mendengar suara decakkan tak senang dari Eyang Sri. Pandangannya lantas beralih ke wanita yang tak puas dengan nasi goreng di piringnya. Tangan keriput eyang mengaduk-aduk nasi di atas piring tanpa minat. "Kamu, tuh. Kalau emang nggak enak, ya ngomong aja. Biar istri kamu bisa belajar masak lagi," omelnya.

"Kalau emang nggak enak, Kafie pasti ngomong, Eyang," ujar Kafie kalem. Kemudian dia melirik Vani di sampingnya. "Lagian, Vani juga udah berusaha yang terbaik."

Tentu saja pembelaan Kafie barusan tidak mempan buat Eyang Sri. Wanita itu masih kelihatan kurang puas. Malah, makin tampak tidak senang karena cucunya justru memihak istrinya sendiri, alih-alih eyangnya. Tiba-tiba Eyang Sri melepas peralatan makan hingga terdengar suara dentingan nyaring di meja makan. Wanita berusia delapan puluhan itu memandang Vani.

"Kalau gini caranya, kamu doain Eyang mati lebih cepat," ucap Eyang Sri.

"Eyang!" seru Kafie serta-merta.

"Emang bener, tho? Coba apa namanya kalau bukan doain Eyang cepat mati? Eyang ini udah tua, Kafie," sahut Eyang Sri tak mau kalah.

Bersamaan itu mata Vani melebar. Perempuan itu buru-buru beranjak dari kursi dan mengambil alih piring dari depan Eyang Sri. "Maaf, Eyang. Vani nggak maksud gitu. Lain kali, Vani... lebih hati-hati," ucapnya lirih. Dia memandang Kafie dan Eyang Sri secara bergantian. "Eyang mau dibuatin—"

"Emang bisa?" sela Eyang Sri melirik Vani sekilas. "Bikin nasi goreng aja keasinan. Gimana bikin makanan yang lain?"

"Eyang, mau Kafie beliin bubur kacang ijo?" tawar Kafie mencoba mengalihkan pembicaraan eyang dan istrinya yang makin tegang.

Pasutri NewbieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang