:: Bab 17 ::

4K 587 36
                                    

Berhenti bikin video makan aneh-aneh? Belajar jadi calon ibu yang baik kalau memang tidak mau menghancurkan rumah tangga sendiri?

Sejak kapan pekerjaan seorang perempuan menentukan keberhasilan dan kegagalan mereka dalam berumah tangga? Sejak kapan karier dan berumah tangga adalah pilihan yang berbeda? Di luar sana, sudah banyak perempuan yang merangkap sebagai ibu rumah tangga sekaligus perempuan karier. Apalagi mereka yang menjadi tulang punggung buat keluarga.

Tangan Vani terkepal di samping tubuhnya. "Maaf Eyang, kalau itu kayaknya Vani nggak bisa," kata gadis itu tegas. "Kalau Vani kerja juga, itu bagus buat segi finansial Vani dan Mas Kafie juga. Biar Mas Kafie..."

"Kamu pikir cucu Eyang gak bisa nanggung hidup kamu?" potong Eyang Sri melotot. Bersamaan itu sebuah tamparan melayang ke pipi Vani. "Keterlaluan. Cucu Eyang itu suami kamu!"

Vani meringis menahan rasa sakit sambil memegangi pipinya. Dengan mata merebak perempuan itu menatap Eyang Sri. "Bukan gitu, Eyang. Vani cuma mau bilang kalau..."

"Cukup!" Lagi-lagi Eyang Sri menyela. Nadanya lebih mengintimidasi daripada sebelumnya. Wanita itu juga menatap tajam kepada Vani. "Sampai saat ini Eyang masih nggak paham kenapa Kafie menikahi kamu. Apalagi sampai bela-belain kamu di depan Eyang," cemoohnya kemudian membuang muka ke tempat lain. "Keluar kamu. Saya nggak mau lihat kamu."

Masih dengan tangan terkepal di samping tubuh, Vani mengangguk. "Kalau gitu, Vani permisi dulu, Eyang," ucapnya sambil melangkah menuju pintu kamar Eyang.

Gerakan tangan Vani terhenti seketika begitu mendengar suara Eyang lagi, "Jangan coba-coba temuin Eyang lagi atau muncul di depan Eyang kalau kamu belum bisa menurut."

Kepala Vani berputar. Tanpa dicegah, setetes air mata menetes di pipinya. "Vani ngerti, Eyang..." ucapnya serak.

***

Malam harinya, Kafie tidak bisa menemukan Vani. Tumben-tumbenan dia tidak melihat keberadaan istrinya. Padahal biasanya perempuan itu gampang ditemukan. Entah lagi dikerjain Eyang karena disuruh ini-itu, atau sedang berkutat di depan laptop. Namun malam ini, entah kenapa sosoknya tidak ditemukan di mana-mana.

Vani ke mana? Kafie mulai bertanya-tanya bingung.

Perempuan itu tidak ada di kamar mereka. Tidak ada juga di gazebo yang berada di pekarangan belakang rumah eyangnya. Tidak di dapur, ruang tengah, atau ruang-ruang lainnya yang bisa didatangi Kafie. Pria itu sudah mengecek juga ke kamar Berry, tapi yang ada hanyalah adiknya sedang fangirling bersama si Loreng yang goler-goler di kasur.

Satu-satunya kamar yang belum dicek Kafie hanyalah kamar Eyang Sri. Lantas langkah Kafie pun terhenti tepat di depan pintu kamar eyangnya. Keraguan menyergap dada pria itu.

Hubungan Eyang Sri dan Vani kan tidak masuk kategori akrab. Eyangnya jelas-jelas seperti membangun tembok mewah nan tinggi yang mustahil ditembus Vani. Wanita itu memberi garis batas. Sedangkan Vani mungkin juga akan memilih jaga jarak dari wanita itu. Rasanya Kafie sangsi Vani ada di dalam di sana.

Saat mendapati sosok Mbok Nur yang memasuki dapur rumah, spontan Kafie menghampiri ART rumah eyangnya itu. "Mbok, lihat Vani?"

"Astagfirullahaladzim!" Mbok Nur terkaget-kaget. Tangannya sampai mengelus-ngelus dada saking kagetnya. "Den Kapi! Kalau ngomong pake 'punten' atau 'permisi' dulu, kek!"

"Emangnya Mbok penghuni tak kasatmata sampai mesti pake permisi segala?" balas Kafie heran. Kedua tangan pria itu bersedekap. "Mbok lihat Vani, nggak?"

Tanpa diduga Kafie, kepala Mbok Nur malah celingak-celinguk. Matanya membulat waswas. "Anu, Den... udah coba telepon Mbak Pani?"

Lah, ngapain telepon? Kafie bingung. Mobil Vani saja tadi masih ada di garasi. Otomatis Kafie berpikir perempuan itu ada di dalam. Ternyata begitu dicari, malah tidak ada sosoknya di mana-mana.

Pasutri NewbieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang