:: Bab 18 ::

3.7K 539 25
                                    

Dua garis.

Otomatis Vani terduduk di lantai kamar mandi hotel yang dingin keesokan harinya. Tiba-tiba saja kakinya terasa lemas. Salah satu tangannya yang memegang testpack sampai gemetaran. Dengan tatapan nanar perempuan itu memandang ke plastik berisi beberapa alat tes kehamilan lain di atas wastafel. Jantungnya berdebar keras.

Setelah beberapa tarikan napas, Vani berdiri dan mengeluarkan semua testpack yang dibelinya kemarin. Mungkin saja testpack yang dicobanya tadi salah. Apoteker itu bisa saja bohong demi meningkatkan angka penjualan, kan? Mungkin merek yang tadi dicobanya ngaco. Tidak akurat.

Dengan napas berderu-deru, Vani memandang salah satu kotak alat tes kehamilan di tangannya. Pandangan mata perempuan itu pelan-pelan mulai mengabur. Tidak. Dia tidak mau hamil. Tidak mau, kalau kehamilan hanya membuatnya harus memilih antara keluarganya atau kariernya.

Detik berikutnya, air mata meleleh di pipi Vani. Perempuan itu mulai terisak-isak sambil memegangi pinggiran wastafel. Dadanya sesak.

Ketika Kafie datang ke hotel tadi malam, perasaan Vani rasanya campur aduk. Dia senang Kafie menyusulnya, tapi juga merasa bersalah karena sudah membuat pria itu cemas. Ketika ingat niat Kafie mendatanginya untuk mengobrol, Vani kemudian meminta pria itu tidak membahas tentang Eyang Sri malam itu. Karena emosinya benar-benar terkuras selama hampir seharian kemarin.

Tanpa disangka, permintaan Vani langsung diluluskan Kafie. Pria itu bahkan menemaninya tidur dan memeluknya selama semalaman. Tidak ada obrolan berat juga semalam.

Kemudian saat bangun tadi, Vani teringat pada alat tes kehamilan yang dibelinya. Setelah sempat Googling, dia menemukan artikel yang mengatakan bahwa waktu terbaik untuk menggunakan alat tes kehamilan adalah di pagi hari.

Vani pun segera membangunkan Kafie dan mengatakan niatnya mau tes urin. Karena Kafie masih mengantuk tadi, pria itu hanya mengangguk sambil terduduk di pinggiran kasur.

Saat menunggu hasil tes beberapa saat lalu, tiba-tiba saja bayangan Eyang Sri menyergap ingatannya. Vani juga teringat reaksi Kafie setelah dia membeli testpack itu. Sekonyong-konyong, Vani berharap tidak hamil.

Vani menarik napas dalam-dalam dan melirik hasil tes pertama. Dua garis di indikatornya makin tegas dan jelas. Ya Tuhan, dia benar-benar hamil. Jantungnya seketika berdetak makin kencang.

"Van?" Suara rendah Kafie terdengar setelah ketukan pelan di pintu kamar mandi. "Are you alright? Say something. Aku mulai cemas."

Air mata Vani makin mengalir deras. Tubuhnya juga mulai gemetaran.

Sekarang dia harus ngomong apa ke Kafie? Belum tentu pria itu menerima hasil alat tes kehamilan ini. Dan, Eyang Sri juga memintanya berhenti bekerja kalau benar-benar hamil. Dua hal yang saling bertolak-belakang iu membuatnya khawatir.

"Van? Aku buka pintunya, ya?" Kafie bersuara lagi. Kali ini dibarengi suara derit pintu yang dibuka. Vani tadi memang sengaja tidak mengunci pintu biar kalau ada apa-apa, bisa meminta Kafie masuk. Dalam hitungan detik, Vani bisa merasakan keberadaan Kafie di kamar mandi itu.

"Kamu kenapa?" tanya Kafie panik seraya menarik Vani ke dalam pelukan. Pria itu memeluknya erat-erat.

Tangis Vani langsung pecah. Dia menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Kafie. "Aku... hamil!" teriaknya terdengar pilu.

"Apa?"

Tangan Vani mengepal. Jantungnya berdebar tak keruan sementara tubuhnya gemetaran. "Aku hamil, Ka. Aku beneran hamil. Jadwal menstruasiku telat bukan karena stres load kerjaan. Aku telat karena hamil! Aku mesti gimana? Aku... harus apa? Aku... aku sendirian!"

"Sendirian? Apa maksudnya? Van, kamu nggak sendirian!"

Kemudian Vani melepaskan diri dari pelukan Kafie. Dia memandang pria di hadapannya. "Kamu keberatan kan kalau aku beneran hamil?"

"Apa? Nggak, Van. Aku nggak pernah bilang‐--" Ucapan Kafie seketika terhenti. Pria itu memandang Vani lurus-lurus sambil menarik napas. Kepalanya tertunduk sejenak, lalu kembali menatap Vani. "Jangan ngomong gitu, oke? Kamu salah tangkep maksud omonganku kemarin," ujarnya seraya menangkup kedua bahu Vani. "Kalau emang jadwal menstruasi kamu telat karena stres kerjaan, itu nggak masalah. Bukannya aku bersyukur kalau kamu nggak hamil, dan keberatan kalau kamu hamil."

Semestinya ucapan Kafie melegakan hatinya. Semestinya dia bersyukur karena tidak bakal sendirian ke depannya. Tetapi entah kenapa, Vani masih meragu.

"Ka, aku nggak bisa," Kepala Vani menggeleng muram. "Aku nggak yakin bisa jadi ibu yang baik buat bayi ini. Kamu mungkin bisa jadi ayah yang baik, tapi aku nggak bisa jadi sosok ibu. Anak ini butuh sosok ibu yang lebih perhatian daripada--"

"Cukup!" Tiba-tiba Kafie menarik Vani ke dalam pelukan. Napas Vani seketika tertahan. Matanya membeliak lebar-lebar. "Kita bisa jadi orangtua yang baik untuk anak ini, Van. Nggak ada tolok ukur menjadi orangtua yang ideal. Tapi kita bisa usahain yang terbaik buat anak kita nanti. Kalau kamu bisa jadi istri aku, kamu bisa juga jadi ibu buat anak kita. Ibu yang dibutuhin anak kita."

Refleks tangan Vani mengepal. "Jadi istri kamu, berbeda dengan hamil anak kamu, Ka. Aku harus berhenti kerja kalau mau anak ini, Ka," ujarnya dengan nada pedih. "Sedangkan aku nggak yakin mau berhenti dari pekerjaanku yang sekarang. Kalau kita biarin dia di perutku, itu sama aja pelan-pelan bunuh anak ini karena pekerjaan aku..."

"Terus kamu nyaranin apa? Aborsi?" potong Kafie setengah berteriak hingga suaranya bergema di kamar mandi. Matanya membeliak. "Jangan gila, Vani!"

"Tapi aku juga nggak bisa pertahanin anak ini, Ka! Aku justru lebih nyesel kalau bunuh dia pelan-pelan karena pekerjaanku!"

"..."

"Aku bakal mengingat momen-momen kehilangan anak ini sampai aku mati, Ka. Dosanya bakal menggelayut di keseharianku," ujar Vani dengan nada getir. "Itu bakal jadi penyesalan seumur hidup buatku kalau maksa mempertahankan anak ini, Ka."

Kafie tidak merespons apa-apa. Pria itu justru makin mengeratkan pelukannya. Vani tahu Kafie berusaha menahan emosi dan menata perasaan sendiri. Dia juga sedang melakukan hal yang sama.

Sejujurnya, ini di luar harapan Vani. Dia tidak mengira harus memilih antara keluarga dan kariernya. Namun, kalau mengusahakan keduanya, perempuan itu jauh lebih takut. Malah, bisa jadi konsekuensinya lebih besar. Dia khawatir tanpa sadar malah kehilangan anak itu karena kecerobohannya sendiri. Apalagi, karena makanan-makanan yang masuk ke dalam mulutnya.

Setelah beberapa saat diam, Kafie kemudian menguraikan pelukan. Bersamaan itu, Vani mendongak dan melihat mata pria itu basah juga. Hatinya kontan tertohok.

"Ka..."

"Kita sarapan dulu," potong Kafie rendah dan parau. Pria itu seperti sengaja tidak mau menatap Vani. Kepalanya menggeleng samar. "Aku turun duluan. Aku tunggu di restorannya. Take your time, Van. Turun kalau kamu udah siap aja. I can wait."

Tanpa menunggu respons, pria itu langsung berjalan keluar dari kamar mandi hotel dan menutup pintu. Sementara itu Vani bergeming di posisinya. Dia mendengar suara pintu kamar hotel yang dibuka, lalu ditutup kembali.

Selepas kepergian Kafie, tangan Vani terangkat dan menutupi mulutnya. Dia berusaha sekuat tenaga meredam isak tangisnya sendiri. Dadanya juga kembali terasa sesak. Perempuan itu kemudian menutup toilet, lalu terduduk lemas di atas penutup toilet itu. Air mata kembali membanjiri pipinya.

"Maafin aku, Ka..." []

[07.05.2022]

Hai, sori lama banget buat update ceritanya, ya! 😂 Terima kasih buat kalian yang sabar nunggu updatenya.

Semoga suka bab ini! Maaf kalau bab ini pendek karena cuma 1.2k gak nyampe. 1.1k-sekian. 🤔

Eniwei, jangan lupa pencet votenya ya... thank you so much! 💛 see you on next chapter!

follow Instagram aku juga di nona.lada 🤗

Pasutri NewbieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang