Begitu selesai bersih-bersih, Vani tidak menemukan Kafie di kamar mereka. Sembari mengeringkan kepala, wanita itu keluar dari kamar. Matanya mencari-cari sosok suaminya.
Keadaan rumah Eyang Sri mendadak berkali-kali lipat lebih sunyi dari biasanya. Kaki Vani menuruni tangga dengan langkah pelan. Samar-samar, dia bisa mendengar suara alat masak yang beradu dari arah dapur. Bukan hanya itu, Vani juga mencium wangi yang seketika membangkitkan rasa laparnya.
"Ka?" panggil Vani saat memasuki dapur.
Kafie menoleh dan melempar senyum sejenak. "Aku laper. Pas kutanya Berry, dia juga laper. Jadi, aku sekalian bikin nasi goreng. Kamu nggak keberatan, kan?"
Kepala Vani menggeleng. Dia tak keberatan. Tapi entah kenapa gestur Kafie agak aneh sepulangnya dari penguburan Eyang Sri tadi.
Vani tahu pria itu masih berduka. Tetapi Vani tahu juga ada hal lain yang mengganggu pikiran suaminya. Di sisi lain, mamanya tadi bilang agar segera bertanya tentang bayi Jazz kepada Kafie.
"Van, sini nyicipin dulu. Ada yang kurang nggak," ujar Kafie kemudian.
Kemudian Vani menghampiri pria itu. "Kamu yakin mau minta pendapatku?" tanyanya. "Kan, kamu yang punya restoran."
"Tapi kamu yang hobi makan," balas Kafie seraya meniup sesendok nasi goreng dan menyodorkannya kepada Vani. "Mestinya udah nggak terlalu panas, nih."
Vani membuka mulut, membiarkan Kafie menyuapkan nasi goreng itu ke dalam mulutnya. Pelan-pelan senyumnya merekah selagi mengunyah.
"Enak?"
Vani manggut-manggut. "Enak."
Kafie pun mengangguk. "Aku aduk sebentar lagi. Ada yang warnanya kurang rata."
Lagi, Vani mengangguk.
Namun karena melihat tak ada lagi ada urusan di situ, dia berbalik. Belum sempat melangkah, tahu-tahu pinggang Vani direngkuh hingga tubuhnya kembali mendekat dengan Kafie.
Mata Vani membola. Kaget. "Eh, kenapa, Ka?"
"Sini aja. Temenin bentar," pinta Kafie.
Vani tercenung sejenak. Matanya menatap satu tangan Kafie yang masih melingkari pinggangnya sementara tangan lain mengoseng di atas panci. Pelan-pelan senyumnya terulas.
"Emang enak sambil masak, tapi meluk aku gini?" tanyanya.
"Nggak, sih. Enakan udahan masaknya, terus puas-puasin peluk kamu di kamar."
"Heh, Kafieeee!"
"Tapi kita masak dulu, bikin Berry kenyang sampai blenger biar dia tidur pules, lalu kita—"
"Emang Berry udah mau makan, Ka?" sela Vani sembari menatap suaminya. "Berry nyaris nggak nyentuh makanan sepanjang hari. Kalau Milo nggak ngasih potongan jeruk tadi, aku ragu Berry mau telan sesuatu."
"Tadi dia bilang laper, sih. Kita coba aja." Kafie mematikan kompor dan melepaskan rengkuhan di pinggang Vani. Dia membawa panci berisi nasi goreng ke konter dapur yang terdapat empat piring.
"Kalau Berry nggak mau gimana?" tanya Vani cemas.
"Kamu coba bujuk Berry aja, Van," usul Kafie akhirnya. "Mungkin di momen kayak gini, kalian sesama perempuan bisa saling paham."
"Kamu yakin?"
"As sure as you'll be a great future mother for our baby."
Alih-alih berkomentar, Vani terdiam. Tubuhnya ikut menegang begitu Kafie menyebut-nyebut bayi dan dirinya sebagai seorang ibu. Sementara otaknya terngiang-ngiang ucapan yang didengar keluarganya tentang bayi yang dibawa Jazz.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Newbie
RomanceGimana rasanya hidup sebagai pasutri baru? Ini bukan tutorial menjadi pasangan suami-istri goals. Vanila Tedjasukmana sama sekali tak menyangka dirinya sudah berstatus sebagai istri Kafie Handhika. Who is he? Oh, pria pemilik Kangen Kafe yang pernah...