Rumah Duka ramai oleh orang-orang yang mau mengucapkan belasungkawa sekaligus melayat. Dari tadi tamu silih-berganti. Vani tidak kenal semuanya, tapi dia berada di sisi Kafie.
Sejak dari rumah sakit, Vani tidak melihat Kafie meneteskan air mata. Pria itu memasang wajah dingin. Begitu ketemu tamu-tamu, tak jarang Kafie melempar senyum tipis sekadar basa-basi.
Jujur saja, Vani benci pemandangan itu.
Sementara Berry kebalikan Kafie. Remaja itu tidak menahan luapan emosinya. Saking lepasnya, raungan Berry hampir selalu terdengar. Namun, Berry tak sanggup berada dekat-dekat dengan peti Eyang Sri. Alhasil, remaja itu melihat dari kejauhan bareng Milo.
Kematian Eyang Sri memang mendadak. Dokter menduga ada hubungannya dengan serangan jantung yang dialami eyang. Mendengar penjelasan itu, hati Vani bagai dicubit.
Seandainya tidak ketiduran di kamarnya, barangkali...
"Kamu mikirin apa?" Tiba-tiba suara parau Kafie menarik Vani dari lamunan.
"Eh?" Mata Vani mengerjap cepat. Dia memandang Kafie yang tampak agak pucat malam itu, lalu menggeleng. "Bukan apa-apa," kilahnya sambil melempar senyum tipis.
"Mau keluar bentar, nggak?" ajak Kafie tiba-tiba.
Otomatis kepala Vani mengangguk. Dia mengekori Kafie hingga agak menjauh dari ruang duka tempat Eyang Sri berada. Mereka menuju sebuah bangku tunggu panjang yang ada di koridor. Permukaan bangku itu terasa dingin karena embusan AC di koridor. Vani sempat berjengit saat duduk di situ.
Belum lama duduk, suaminya sudah menyandarkan kepala pada bahu Vani. Menyadari itu, tubuh Vani tersentak sedikit.
"Jangan mikir ini kesalahan kamu, Van," kata Kafie pelan.
Mata Vani melebar. Pelan-pelan, dia menunduk dan memandang pria yang tengah menyandarkan kepala di bahunya.
"Ketauan ya?" tanyanya.
Kafie mengangguk pelan. "Kadang aku suka bingung kenapa rasanya aku tau kamu seumur hidupku."
Vani terdiam.
Dia tahu Kafie sedang berusaha mengalihkan rasa bersalah yang tengah menggelayuti hatinya. Niat baik suaminya itu membuat Vani tersentuh.
Lantas, Vani menarik napas dalam-dalam dan ikut menyandarkan kepala pada kepala Kafie.
"Kamu lagi usaha biar aku nggak mikirin lagi, kan?"
"Ngefek, nggak?" balas Kafie seraya terkekeh.
"Hm," Vani bergumam. "Agak nggak enak sebenarnya. Aku kan belum sempet akrab banget sama eyang kamu. Tapi–"
"Nggak ada yang tau usia seseorang, Van. Jadi, jangan merasa bertanggung jawab atas kematian Eyangku."
"..."
"Toh, dokternya juga udah bilang karena serangan jantung. Semua orang bisa ngalami serangan jantung. Nggak mandang usia lagi. Eyang pun udah punya penyakit jantung juga. Jadi, aku sama Berry... already prepare for the worst case."
The worst case. Kematian memang tidak pernah pandang waktu maupun usia. Namun, sesiap apa seseorang dalam menghadapi kematian orang terdekatnya? Apalagi Kafie dan Berry hanya punya Eyang sebagai keluarga mereka. Sekarang, satu-satunya keluarga mereka tidak ada lagi.
Walau sudah mempersiapkan selama apapun, tapi tak ada yang bisa menepis bahwa kesedihan sekaligus amarah bisa timbul saat kematian menjemput orang terdekat. Seketika itu, persiapan apapun tak ada lagi gunanya.
Akhirnya, Vani menarik napas dalam-dalam dan menarik Kafie ke dalam pelukannya.
"Kamu jangan tahan rasa sedih kamu. Kalo mau nangis juga nggak apa. Nangis itu nggak bikin kamu kayak pengecut, Ka," bisik Vani lembut.
![](https://img.wattpad.com/cover/268849161-288-k318821.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Newbie
RomanceGimana rasanya hidup sebagai pasutri baru? Ini bukan tutorial menjadi pasangan suami-istri goals. Vanila Tedjasukmana sama sekali tak menyangka dirinya sudah berstatus sebagai istri Kafie Handhika. Who is he? Oh, pria pemilik Kangen Kafe yang pernah...