:: Bab 22 ::

2.1K 266 22
                                    

Ini jam berapa?

Bangun-bangun dari tidurnya, Vani mendapati kamar yang gelap gulita. Tangannya kemudian terulur untuk menyalakan lampu di atas nakas. 

Begitu lampu menyala, mata Vani memandangi kamar. Pandangannya kemudian jatuh pada jam di atas nakas yang menunjukkan hampir pukul delapan malam.

Pantas saja sudah gelap.

Vani beranjak dari kasur. Dia juga meraih ponselnya yang sempat diabaikannya selma tidur beberapa jam terakhir. 

Tidurnya lama juga. Sekitar tiga jam. Padahal biasanya Vani jarang bisa tidur siang. Paling banter tidurnya hanya 10 menit. 

Begitu keluar kamar, rumah Eyang Sri juga terasa lebih sepi dan hening. Rumah itu memang biasanya sepi. Namun entah gimana, malam ini sepinya agak berbeda. 

Vani juga tidak mencium wangi masakan. Padahal jamnya sudah masuk jam makan malam. Biasanya kalau Mbok Nur masak, wanginya bisa sampai ke seantero rumah. Tapi ini tidak tercium wangi apa-apa. 

Vani mendadak cemas. 

Semoga saja Eyang Sri dan Berry tidak sengaja menunggunya untuk–

“Mbok!” Vani berseru saat mendapati Mbok Nur sedang mengelap-ngelap di dapur. 

Ruang makan juga sepi. Eyang Sri dan Berry biasanya makan malam sekitar jam tujuh. Masa hampir jam delapan lewat gini sudah sepi dan rapi?

“Eyang–”

“Mbak, maafin Mbok ya!” Tiba-tiba Mbok Nur menyela. Wajahnya memelas. “Mbok bukannya nggak mau bangunin Mbak Vani, tapi pas mau bangunin Mbak, Den Kapi telepon.”

“Kenapa, Mbok? Kok, Kafie telepon Mbok?”

Sebelum Vani mendengar jawaban Mbok Nur, ponsel di tangannya bergetar panjang. Nama Milo tertera di layar itu. 

“Aku angkat telepon bentar ya, Mbok,” ucap Vani. “Mbok, kalau belum tentu salah Mbok, jangan menyalahkan diri. Nanti aku denger cerita Mbok abis ini.”

Setelahnya, Vani menempelkan ponsel ke telinganya. “Ya, Mil?”

“Lo di mana?” 

Alis Vani menyatu. Apalagi suara Milo kedengaran panik. 

“Gue di rumah eyangnya Kafie,” jawabnya agak bingung oleh pertanyaan Milo. “Kenapa, Mil?”

“Jangan ke mana-mana, Van. Gue sama Kafie lagi on the way ke situ.”

Setelah itu sambungan telepon ditutup. Vani masih belum paham. Dia juga tak punya kesempatan bertanya-tanya. Tetapi nada bicara Milo tadi kedengaran gelisah. Tumben-tumbenan juga pria itu bareng suaminya. 

Pandangan Vani kembali tertuju kepada Mbok Nur yang tampangnya kian tertekan. Sekilas, Vani merasa dirinya yang menjadi penyebab ART itu tertekan. “Mbok…”

“Eyang tadi pingsan, Mbak.” Mbok Nur memberitahu sebelum Vani sempat menyelesaikan kalimatnya. 

Mata Vani langsung melebar. “Pingsan? Gimana ceritanya, Mbok? Kok, bisa Eyang pingsan?” 

Mbok Nur berdiri gelisah. “Mbok juga kaget, Mbak. Setelah pamit dari kamar Mbak, kan, Mbok suguhin minuman buat Mbak Jasmine. Eyang Sri masih baik-baik aja. Ngobrol-ngobrol sama Mbak Jasmine.” 

Vani tersentak. “Eyang pingsan pas ada Jasmine juga?” 

Kegelisahan Mbok Nur makin kentara. “Anu, Mbak. Bukannya apa, tapi Mbok rasa Eyang Sri pingsan gara-gara Mbak Jasmine. Pas Mbok ke ruang tamu karena denger dipanggil sama Mbak Jasmine, posisi Eyang udah di lantai. Nggak sadar. Terus, Mbak Jasmine yang panggil ambulans–”

Pasutri NewbieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang