:: Bab 21 ::

1.8K 247 22
                                    

Kepala Vani tidak berhenti nyut-nyutan sejak kepikiran harga fantastis yang disebut Kafie tempo hari. 

Sembilan ratus jutaan. Wow! 

Perut Vani langsung mulas bayangin banyaknya nol di nominal segitu. Kalau tabungannya dan Kafie digabung, memangnya cukup? Tidak mungkin juga Vani membiarkan Kafie menanggungnya sendiri. 

Saat mengobrol kemarin, Vani sampai tidak sanggup memutuskan apa-apa lantaran memikirkan skala prioritas mereka.

Lantas, Vani menarik napas dalam. 

Sejauh ini prioritasnya memang menjaga kondisi badan dan kesehatannya demi si bayi. Dia juga sudah menemui dokter untuk kontrol selanjutnya. Tapi kan tidak sampai situ saja. Masih ada proses melahirkan juga dan Vani yakin biayanya tidak sedikit. 

Di sisi lain, tinggal di rumah Eyang Sri seperti ini malah bikin jantungnya deg-degan sepanjang hari. Diam-diam Vani meringis. Eyang Sri jelas-jelas belum bisa melunak padanya. Hubungannya dengan eyangnya Kafie itu lama-lama makin terasa merenggang. 

Ping! 

Ponsel di tangan Vani tiba-tiba berdenting. Di layarnya muncul balasan dari suaminya. 

Kafie Handhika 

Skala prioritasku sampai hari ini adalah kamu, Van. 

Aku mau kamu dan anak kita sehat-sehat. 

Vanila Tedjasukmana

You’re the sweetest, Husband!

Harga rumahnya emang 1M nggak nyampe.

Sedangkan kisaran rumah2 sekarang ada di 1M.

Sebenarnya plafon kita berapa, Ka?


Kafie Handhika

Jujur, aku kirain kamu nyerahin semua itu ke aku. 

Vanila Tedjasukmana

Itu bakal jadi rumah kita, Ka.

Aku nggak mungkin ongkang2 kaki sementara

kamu kerja sendiri, kan?

Jadi, berapa plafon yang kita punya?

Kafie Handhika

Aku mikir gitu, Tbh. 

I’m sorry. Soalnya kupikir kamu udah pusing sama

Kafie Junior…

Alis Vani langsung menyatu. Kafie Junior? 

Sejak kapan Kafie sudah menamai anak yang ada di dalam perutnya? Mereka bahkan belum bisa tahu jenis kelamin anak ini, lho! Langsung saja, Vani memencet ikon telepon di bagian atas kanan ponselnya. 

“Ya, Vanila?” 

“Ka–” Ucapan Vani terhenti begitu sadar Kafie menyebut nama panjangnya. Bibirnya pun terkulum. “Timing-ku telepon nggak pas, ya?” 

“Nggak juga,” respons Kafie. 

Vani mendengkus pelan. Bilangnya "nggak juga" tapi terdengar suara hiruk-pikuk kafe. Spontan saja Vani melirik jam di layar laptop. 

Jam-jam makan siang. 

Kafe Kafie pasti lagi jam sibuk. Meski tidak gede-gede amat, restoran Kafie di jam makan siang gini lumayan ramai. 

Pasutri NewbieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang