:: Bab 15 ::

3.7K 542 31
                                    

"Istri kamu ke mana?" Suara Eyang Sri terdengar saat Kafie sedang menata meja satu pagi.

Lantas, Kafie mengangkat kepala dan mendapati eyangnya yang jalan perlahan menuju sebuah bangku di ujung meja. Kafie menyebutnya sebagai singgasana eyang. Samar-samar tercium wangi parfum eyangnya yang menyengat.

Pada salah satu sisi meja berkapasitas empat orang di dapur, ada kursi paling beda sendiri. Kursi itu memang biasa diduduki Eyang Sri karena tidak suka dengan kursi dari set meja tersebut. Katanya, bantalannya agak keras bikin pantat Eyang sakit. Akhirnya, Kafie mengganti satu kursi dengan kursi khusus yang bantalannya lebih empuk.

Ternyata kursi itu malah jadi lebih besar daripada kursi-kursi yang lain. Awalnya, Kafie pernah komentar kemegahan kursi eyangnya malah seperti sebuah singgasana. Komentarnya itu hanya berani terlontar ketika bersama Berry. Adiknya itu malah ngakak tak keruan, meski kepalanya mengangguk sebagai bentuk persetujuan.

"Hari ini biar Kafie aja yang masak buat Eyang," jawab Kafie seraya membantu eyangnya duduk di singgasana kebanggaannya. Mendingan tidak usah menyebut Vani yang mungkin masih tidur di kamar. Sebab saat bangun tadi, Kafie memang menyuruh perempuan itu tidur lagi dan membiarkannya yang menyiapkan sarapan.

Sesuai dugaan Kafie, istrinya itu tidak langsung mengiyakan. Vani merasa berkewajiban menyiapkan sarapan. Katanya, itu kemauan Eyang Sri. Dan terus terang, alasan Vani membuat Kafie kesal. Alih-alih menciptakan hubungan harmonis karena tinggal satu atap yang sama, eyangnya malah mengesankan Vani layaknya pesuruh yang patuh perintah ala zaman feodal.

Lalu bibir Eyang Sri mencebik curiga. "Dia ngantuk?" tanyanya agak sinis.

"Emang Eyang nggak mau dimasakin cucunya sendiri?" balas Kafie menepis rasa dongkol karena tuduhan eyangnya. "Kan Kafie udah lama nggak bikinin Eyang sarapan. Emang Eyang nggak kangen sama masakan cucunya?"

Sayangnya, Eyang Sri tidak berkomentar apa-apa. Wanita itu kemudian menyesap tehnya dalam diam.

Kafie pun melangkah ke konter dapur untuk mengambil beberapa piring toast yang sudah disiapkannya tadi. Dia sengaja tidak bikin menu yang ribet biar eyangnya tidak mengambil celah untuk mengejek Vani.

"Istri kamu udah ke dokter atau belum, Kaf?" Tiba-tiba Eyang Sri bertanya.

Alis Kafie bertaut bingung. Kenapa istrinya mesti pergi ke dokter?

Selama ini Vani belum pernah mengeluh sakit yang gimana-gimana kepadanya. Malah, Kafie tidak pernah bertanya apakah perempuan itu punya penyakit bawaan yang mesti diperhatikan atau tidak. Secara tidak langsung, ucapan eyangnya jadi mengingatkan pria itu memang belum mengenal Vani sebaik yang dikira.

Kafie meletakkan dua piring yang dibawanya di atas meja. "Emang Vani pernah ngeluh sakit sama Eyang?"

Kepala Eyang Sri sontak mendongak. Matanya membulat tak percaya. "Ah, yang bener aja kamu!"

Mata Kafie mengerjap-ngerjap bingung. Memangnya pertanyaannya salah?

***

"... menurut kam..." Ucapan Vani terhenti begitu mendapati Kafie yang tampak tidak mendengar celotehannya. Pria itu juga tidak kelihatan sedang melihat jalanan. Pandangan matanya kosong, seolah sedang ditarik ke dalam labirin di dalam otaknya.

Untuk pertama kalinya, Vani melihat Kafie bengong.

Tidak biasa-biasanya Kafie tenggelam dalam pikiran seperti ini. Biasanya pria itu selalu menjadi pendengar dan selalu merespons tanggap. Rasanya, Vani pun tidak yakin Kafie mendengar setiap omongannya nyaris di sepanjang jalan Fatmawati yang lagi macet.

"Ka? Kamu gapapa?" Akhirnya Vani mencoba menarik perhatian pria itu pelan-pelan. Dia tidak mau membuat Kafie kaget dan refleks menekan pedal gas hingga mobil itu menyosor bemper belakang mobil depan mereka. BMW seri i5, bok! Ganti ruginya bemper doang saja bisa-bisa bikin rekening kejang-kejang!

Pasutri NewbieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang