:: Bab 19 ::

4K 489 35
                                    

"Pusing lo?"

"Nggak."

"Kalau nggak pusing, kenapa mijit-mijit kepala?"

"Pegel!" delik Kafie kepada Milo yang membalasnya dengan dengusan tak percaya. Sudah tahu orang lagi pusing, kenapa pakai ditanya segala, sih? Kadang Kafie tak habis pikir dengan basa-basi Milo. "Anak big four nggak ada kerjaan, ya?"

"Gue udah kerja keras akhir-akhir ini," bantah Milo defensif. Matanya memicing tajam, sementara punggungnya bersandar pada kursi kafe. "Now, let me have a little break. Masih bagus gue luangin waktu mahal gue buat nyamperin kafe lo."

Kafie memilih tak berkomentar. Otaknya terlalu sibuk memikirkan rencana-rencana agar bisa mendamaikan eyang dan istrinya.

Mendamaikan. Satu kata itu entah kenapa terlalu powerfull untuk mendeskripsikan keadaan Eyang Sri dan Vani. Keduanya seolah sedang saling berperang. Namun, sekarang Kafie tidak terlalu memikirkan perbendaharaan yang tepat. Dia hanya perlu membuat keadaan kembali seperti biasa. Keadaan dimana eyangnya menerima Vani tanpa menuntut idealisnya kepada perempuan itu.

Kafie menarik napas dalam-dalam. Dia tahu dua orang itu tidak ada keinginan untuk mengalah. Apalagi Eyang Sri. Sedangkan, kalau meminta Vani agar memahami posisi Eyang Sri, pasti juga memberi tekanan batin juga buat perempuan itu. Sialan, Kafie benar-benar pusing!

"Lo kenapa waktu itu ngeremehin pekerjaan Vani, Mil?" tanya Kafie kali ini memandang Milo.

"Karena emang menurut gue pekerjaan YouTuber itu bukan pekerjaan sesungguhnya," kata Milo tegas. "Cewek seumuran kita atau Vani, lagi heboh-hebohnya flexing lanyard Coach. Diem-diem ngirim CV ke kantor lain biar bisa jadi Mbak-mbak SCBD, atau minimal gaji dua digit. Ngomong-ngomong, lo bilang nyusul dia ke hotel tadi malem. Terus, tadi pagi gimana berangkatnya?"

"Tadi gue anterin dia kerja. Nanti sore gue jemput dia lagi," jawab Kafie muram. "Yang gue bingung, masa nanti gue balikin dia ke hotel, sih?"

"Emang istri lo mau staycation?"

Mata Kafie langsung melirik tajam ke arah Milo. Dia sudah menduga jawaban ngawur dari temannya itu. Meski begitu, dia tidak ingin membalas kengawuran Milo.

"Gue nggak nyangka endingnya bakal gini," gumam Kafie kemudian. Pandangannya beralih ke pigura fotonya dan Vani di meja kerja. "Gue kirain bakal gampang setelah-setelahnya. Toh, gue sama Vani udah nurutin semua omongan, harapan, dan ekspektasi orang-orang. Ya, Eyang gue, orangtua dan keluarga besar Vani. Terus, Eyang gue malah minta Vani berhenti dari kerjaannya kalau-kalau hamil. Kacau. Abis itu kacau. Vani malah mau gugurin janin..."

"Hold on!" cegat Milo tiba-tiba. Suara pria itu meninggi sedikit. Matanya membelalak ke arah Kafie. "Vani hamil beneran? Lo nggak ngeprank, kan?"

"Hasil testpack-nya sih dua garis."

"Lo yakin?"

"Emang testpack bisa meleset?"

"Mana gue tau? Calonnya aja diembat duluan."

Refleks, Kafie melempar gumpalan tisu ke arah Milo. "Lo ungkit-ungkit juga Vani tetap milih gue kalau disuruh pilih, sial!"

"Ya ngggak, dong. Dia justru milih gue daripada ketemu sama Eyang lo yang nyuruh dia berhenti kerja!"

"Lo juga nyuruh dia berhenti kerja. Lo yang dari awal nggak suka kerjaannya dia gara-gara kelihatan kayak main-main doang, kan? Nggak kayak Mbak-mbak SCBD impian lo."

Milo menghela napas panjang. "Iya. Gue emang nyakitin dia di situ. Tapi karena gue tau Vani nggak se-hopeless itu. Dia mau melamar di e-commerce sebagai content creator dengan achievement itu, pasti ada perusahaan yang mau terima atau hire dia. Dan, saat itu gue ngomong ke dia sebagai teman, calon pacar, you name it, tapi di situlah perbedaannya, Kaf. Vani mungkin marah dan kesel sama gue. Tapi seenggaknya dia nggak bakal sefrustrasi sekarang."

Pasutri NewbieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang