:: Bab 5 ::

6K 639 21
                                    

Lima belas minggu sebelumnya...

Vani mulai bosan di Kangen Kafe. Perutnya sudah melewati tiga fase: lapar, kembung, dan lapar lagi. Gara-gara janjian dengan anak teman budenya, Vani tidak enak hati untuk memesan makanan duluan. Kan tidak lucu kalau anak teman Bude Dwi nongol ketika perempuan itu sedang menyedot helaian pasta.

Vani pun memesan minuman sebagai penahan rasa lapar. Untuk kesekian kalinya, dia menyesap air mineral dari botol. Sudah ada tiga botol air di meja kayu yang berada di hadapannya. Namun ke mana sosok yang ditunggu-tunggu? Kenapa daritadi batang hidungnya tak kunjung kelihatan?

Sambil menarik napas, Vani menatap ke luar jendela kafe. Dia sengaja duduk di sudut kafe itu biar tidak terlalu mencolok dan lebih mendapat privasi. Alih-alih tampak mencolok dan lebih mendapat privasi seperti yang diharapkannya, Vani justru menyangka dirinya ngenes. Duduk sendirian berjam-jam, tanpa kejelasan. Ponsel yang sengaja diletakkan di atas meja pun tidak menampilkan notifikasi dari anak teman budenya.

Tiba-tiba saja, Vani punya feeling.

Keluarganya boleh saja menjodohkan Vani dengan ini-itu. Namun, siapa juga yang masih menerima perjodohan konvensional di zaman yang bisa nemuin jodoh via aplikasi kencan begini?

Cuma tinggal modal swipe saja, bisa tahu-tahu jodoh. Dan entah kenapa, Vani juga punya feeling orang yang mestinya bertemu dengannya pun, mungkin sudah membatalkan kencan buta konyol ini.

Oke, yang terakhir memang bikin kesal. Sebab dia sudah menunggu berjam-jam di situ tanpa ada kepastian. Tetapi (entah gimana) Vani juga merasa agak wajar kalau kencan buta ini dibatalkan sepihak.

Vani kemudian melirik jam tangannya. Sudah hampir pukul setengah sembilan. Mungkin sebaiknya dia mulai melihat-lihat makanan di buku menu. Toh, kayaknya anak teman Bude Dwi tidak bakal datang.

Sepengetahuannya, Kangen Kafe termasuk kafe baru di bilangan Senopati. Fasad bangunannya terkesan minimalis meski bertingkat dan didominasi kaca bening besar. Begitu masuk ke kafe itu, Vani langsung disambut oleh wangi olahan kopi yang menyerbak di seantero kafe.

Secara vibe, perlu diakui Kangen Kafe ini kelihatannya asyik banget buat nongkrong. Interiornya bergaya kafe-kafe industrial kekinian yang menggabungkan perabotan berelemen kayu dan besi. Bukan cuma ada set meja dan kursi biasa, kafe itu juga punya meja bar yang berhadapan langsung dengan jalan Senopati. Kalau tidak menunggu orang, mungkin Vani akan memilih meja bar untuk nongkrong-nongkrong cantik menunggu macet.

Vani sedang membaca makanan-makanan di buku menu ketika sebuah piring diletakkan di atas mejanya. Langsung saja, pandangan Vani beralih. Matanya mengerjap-ngerjap melihat sepiring creamy fettucinne di meja. Lalu dia melihat seorang pria yang berdiri di samping meja dengan wajah datar.

"Sori, saya nggak..."

"Iya, tahu. Ini gratis, kok," Pria itu mengangguk sambil menyeka tangan dengan kain apron hitam yang melingkar di pinggangnya. "Gue lihatin lo daritadi..."

"That's creepy..." komentar Vani spontan.

Lagi-lagi pria itu mengangguk. "Makanya gue bikinin ini buat lo. Sebagai permintaan maaf karena udah such a freak."

Alis Vani terangkat sebelah. Meski begitu, dia tetap terkesan pada pria ini. Vani kembali menatap makanan di meja. Sudut bibirnya mulai tertarik ke atas. Wangi pastanya sukses membuat perutnya kerucukan.

Segera saja Vani mengambil peralatan makanan. Dia baru mau menyendok fettucine ketika tatapannya bersirobok dengan pelayan pria yang sedang memperhatikannya.

Pasutri NewbieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang