:: Bab 14 ::

4K 579 33
                                    

"Lo yakin soal ini?" Rahang Milo mengetat, sedangkan matanya melotot tak percaya kepada sahabatnya sendiri. "Kaf, lo kira beli rumah segampang di permainan monopoli? Gila lo!"

"Gue kan nggak bilang mau beli rumah," balas Kafie memandang Milo yang sudah gusar duduk di depannya. "Gue bilang mau cari kontrakan. Sementara itu, gue sama Vani nyari-nyari rumah yang emang sesuai keinginan Vani. Atau apartemen kalau emang dia maunya apartemen."

Milo menggeleng-geleng. "Tapi kenapa tiba-tiba, deh?"

Kafie tidak langsung menyahut. Dia meneliti lembaran-lembaran brosur yang baru diberikan Milo beberapa waktu lalu. Kebetulan sahabatnya itu lagi mendatangi pameran properti di JCC. Tadinya Kafie berniat protes karena Milo ngomongnya pas hari terakhir pameran. Sebagai pengganti, pria itu meminta sahabatnya mengambil semua brosur properti selama di pameran.

Mulai dari rumah model minimalis, sampai apartemen berbentuk suites yang sudah full furnished ada semua. Kasarnya, Kafie dan Vani hanya tinggal cap-cip-cup belalang kuncup. Namun mengingat tekadnya tidak mau melibatkan eyangnya, Kafie juga tidak berniat memakai uang yang menjadi bagian dari tabungannya. Mendingan dia memakai tabungannya sendiri, amit-amit buntutnya ada kasus tidak enak lagi dengan eyangnya

Lantas, Kafie melihat sebuah brosur rumah minimalis tipe "C". Terus terang, dia tidak paham maksudnya. Apakah ada tipe alfabet lainnya? Ada berapa tipe? Entahlah. Tetapi yang menarik perhatiannya adalah cicilan DP-nya lumayan ringan buat kantong.

"Menurut lo gimana?" Kafie menunjukkan brosur itu kepada Milo yang baru mau menyesap iced coffee-nya.

"Kok, nanya sama gue, sih? Emang gue bini lo?" sembur Milo terheran-heran. Kelingkingnya terangkat dan menunjuk brosur-brosur di atas meja. "Mending lo bawa semuanya ke Vani. Diskusi deh lo berdua."

"Gue mau seleksi dulu, biar Vani nggak perlu ikutan pusing milihnya," Kafie membela diri. Kemudian menunjuk brosur di tangannya. "Cicilannya ramah di kantong, nih."

"Yeah right, lo mau beli rumah yang lokasinya lebih deket ke Anyer daripada ke kafe lo sendiri?" ejek Milo serta-merta. Kepalanya menggeleng tak habis pikir. "Mending lo nyari yang sekitar PIK, deh. Sejauh-jauhnya PIK, tapi nggak ke Anyer juga, Kaf. Lumayan, sekarang banyak tempat menarik juga di sana."

"Kalau BSD City, gimana?" Perhatian Kafie beralih ke brosur lain. "Big City, Big Opportunity," gumamnya membaca slogan di bawah tulisan logo. "Udah banyak mal, sekolah buat anak nanti..."

"Sumpah, Kaf! Mendingan lo ngomongin sama Vani aja, deh!" potong Milo cepat-cepat. Tubuhnya sampai berjengit di kursi yang didudukinya. "Gue merinding denger lo ngomong gitu. Berasa gue istri lo!"

Kafie mengembuskan napas panjang. Dia bersiap merespons ucapan Milo ketika matanya menangkap sosok Vani yang baru memasuki kafenya. Perempuan itu membalas sapaan barista dan mengobrol sebentar sebelum akhirnya menghampiri meja Kafie dan Milo di sudut kafe. Senyuman merekah di bibir Vani.

"Sibuk banget, ngapai–wow, ini apa?" Mata Vani membulat sempurna melihat brosur-brosur bertebaran di meja itu. Tangannya kemudian mengambil salah satu brosur dan menelitinya sejenak, dan memandang Milo. "Kamu sampingan jadi broker rumah, Mil? Gaji di big four kurang gede?" kelakarnya.

Milo terkekeh. Kepalanya bergerak kepada Kafie. "Nggak, tadi dipaksa suami kamu ke sini. Tadi abis liat-liat pameran properti di JCC."

"Dia nggak ngomong ada pameran properti di JCC. Kalau tau, aku ikut," bantah Kafie cepat dan bergeser ke kursi dekat jendela agar Vani bisa duduk di kursinya. Sayang, alih-alih duduk di sampingnya, Vani justru duduk di samping Milo. Langsung saja kening pria itu mengernyit. "Kenapa kamu duduk di samping Milo?"

"Kenapa Vani nggak boleh duduk di samping gue?" balas Milo sengaja memanjangkan tangan ke kursi Vani, seolah merangkul perempuan itu.

Mata Kafie memicing. "Tangan..."

"Emangnya aku nggak boleh duduk di samping Milo?" timpal Vani memasang wajah polos.

Kafie mengembuskan napas panjang dan memandang seantero kafe yang tidak terlalu ramai siang itu. Kemudian dia beralih memandang lurus-lurus dua orang di hadapannya. "Oke, kamu boleh duduk sama siapa aja," putus pria itu berat. Lalu matanya beralih kepada Milo. "Lo boleh duduk di samping istri gue, tapi jangan sampai garam di meja ini gue cipratin ke lo."

Tawa Vani seketika berderai sementara Milo menarik kembali tangannya dan mengumpat. Kepala pria itu menggeleng-geleng.

"Gue bukan pembawa sial, kampret!" sungut Milo dan menyesap minum di atas meja. "Mumpung Vani udah di sini, kenapa nggak lo ngomong aja rencana lo tadi."

"Rencana apa?" Vani memandang Kafie dan Milo secara bergantian. "Kamu beneran pengin pindah, Ka? Kalau kayak gitu, bukannya Eyang makin marah?"

Lagi-lagi Kafie menghela napasnya. Dia juga sudah menduga ada kemungkinan eyangnya makin marah. Di sisi lain, dia juga tidak mau eyangnya memperlakukan istrinya seperti pembantu.

Demi Tuhan, Mbok Nur yang pembantu sebenarnya di rumah itu saja berasa makan gaji buta kalau semua kerjaan diselesaikan dan dikerjakan Vani. Belum lagi harus membayangkan sakit hatinya perempuan itu kalau pekerjaannya tidak pernah benar di mata Eyang Sri.

"Terus kamu mau terus-terusan dinilai nggak pernah cukup sama Eyang?" tanggap Kafie tajam. Rasanya dia tak sanggup menahan emosi lagi kalau membayangkan usaha Vani sama sekali tidak dihargai oleh eyangnya. Lantas, kepalanya menggeleng. "Nggak, Van. Kamu udah berusaha. Kalau usaha kamu nggak pernah cukup di mata orang lain, mungkin masalahnya bukan di kamu, tapi orang itu..."

"Kamu nganggep eyang kamu bermasalah, Ka?" sela Vani membulatkan mata. Perempuan itu buru-buru beranjak dan pindah ke samping Kafie. Lalu tangan Vani meraih tangan pria itu. "Aku tau kamu marah. Aku juga kesel. Tapi gimana kalau sebenarnya masalahnya juga ada di aku?"

"..."

"Jujur sama aku, emang masakanku pernah enak di lidah kamu? Minimal deh, rasanya pas?"

Kafie makin terdiam.

Selama ini rasa masakan Vani memang belum stabil. Kadang keasinan, kadang juga tidak ada rasanya sama sekali. Awalnya, Kafie pikir karena lidahnya mungkin lagi agak bermasalah. Kendati demikian, dia juga tidak mau berkomentar daripada menambah tekanan batin untuk Vani.

"Nah, kan. Jadi masalahnya bukan cuma di Eyang aja, Ka. Aku sendiri juga masalah karena nggak bisa masak. Bisa jadi Eyang nggak sabaran gara-gara aku kayak 'nggak ngerti-ngerti' gitu, lho," kata Vani sambil tersenyum tipis. Tangannya meremas tangan Kafie. "Kamu jangan nyalahin Eyang sepenuhnya, oke? Dia cuma mau yang terbaik buat kamu, kok."

Akhirnya Kafie melunak. Mungkin dia juga keterlaluan karena melimpahkan semua kemarahan kepada eyangnya saja. Tetapi tidak bisa dibilang Vani juga sepenuhnya salah. Eyangnya hanya butuh penyesuaian. Tidak semua yang diinginkannya harus terwujud seolah Vani jin pengabul permintaan.

"I know," ucap Kafie melembut. Lantas, tangannya terulur dan mengambil selembar brosur dari atas meja. "Tapi kita tetap nyari rumah, kan?"

"Ck, lama-lama dengki gue lihatin mesranya lo berdua," celetuk Milo tiba-tiba. Pria itu membuang muka ke luar jendela kafe sambil menyesap sisa iced coffee. "Padahal mestinya gambaran lagi pusing gini, kan, buat gue sama Vani."

Tawa Vani berderai.

"Makanya nggak usah jual mahal," balas Kafie langsung. Seringaian menyebalkan terukir di bibir pria itu. "Kisah cinta lo tuh udah bisa dijadikan judul sinetron azab. Gara-gara Sering Jual Mahal, Gebetan Ditikung Sahabat."

"Bangkai, Kaf!" umpat Milo masam. []

[06.01.2022]

Happiest new year dari VanKa! 💛

Ada yang suka salah tanggal? 🙈 you're not alone! Hueueue... aku juga suka gitu, kok. Lupa move on. *eh

Eniwei, aku minta maaf kelamaan updatenya. 🙏🏻 Semoga kalian suka bab ini.

I'll see you on next chapter!

Pasutri NewbieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang