02. Puzzle Peace

652 96 0
                                    

Hidup itu seperti kepingan puzzle yang harus kita susun menjadi satu bagian utuh. Atau seperti potongan-potongan film yang akan selalu berputar. Tak pernah berhenti sampai saatnya napas tak lagi berhembus. Ketika manusia masih hidup, dia akan merasa sakit bila terjatuh, dipukul, didorong, atau mengalami sakit yang tak berbentuk seperti dicaci, dimaki, direndahkan.

Katanya, sebelum manusia dilahirkan ke dunia dia akan ditanya apa dia sanggup menghadapi semua masalah hidupnya atau tidak. Kalau iya, dia akan dilahirkan. Kalau tidak, dia akan mati di dalam kandungan. Tapi kalau begitu, kenapa dia merasa tidak kuat menahan beban ini? Apa dulu dia salah jawab? Atau semua pertanyaan itu tidak pernah ada?

Pertanyaan dan pikiran-pikiran itu terus dia bawa di kepala dan pundaknya. Melewati tatapan-tatapan tak suka dari seisi kelas. Ia duduk sendirian di bangku paling depan. Langsung membuka buku catatan dan berusaha menjawab soal fisika yang sebenarnya sudah dia selesaikan minggu kemarin.

Berusaha tak peduli walau jujur ini semua terasa..

Menyakitkan.

.
.

Satu Jam yang lalu..

"Saya tahu ini hanya masalah kecil. Sudah hal wajar jika anak-anak bertengkar. Tapi saya tidak akan tinggal diam karena anak saya sampai pingsan karena hal ini." ujar Thomas seraya mengelus rambut anaknya, Hermione.

Seorang pria berusia sekitar 40 tahunan menunduk gelisah. Disampingnya berdiri pula anak perempuannya yang kini kepalanya terbalut perban. Pansy.

"Maafkan anak saya, Pak. Dia tidak sadar atas apa yang dia lakukan. Saya akan hukum dia."

"Ayah! Aku nggak salah! Dia yang dorong aku sampai kepala aku luka!" teriak Pansy.

"DIAM!!" ayah Pansy mendorong kepala anak itu, "Kamu mau ayah dipecat dan kita kelaparan begitu?!" bisiknya. "Pans, cepat minta maaf pada Hermione!"

Pansy menatap benci Hermione. Sedangkan yang ditatap menatapnya balik tanpa ekspresi.

"Saya mau anakmu berlutut di depan anak saya." ujar Thomas. Semuanya menatapnya terkejut. Begitu juga Hermione.

"Ay-" ucapan Hermione terhenti ketika Thomas mengangkat telapak tangannya agar Hermione berhenti bicara.

"Saya tahu bapak sudah berperan banyak terhadap perusahaan, tapi untuk hal ini saya tidak bisa bertoleransi. Tidak ada yang boleh menyakiti anak saya. Dan sangat mudah bagi saya mencari pengganti untuk posisi bapak saat ini."

Hermione ingin tertawa rasanya. Tidak ada yang boleh menyakiti? Padahal dirinyalah yang paling menyakiti anaknya.

"Kecuali kalau anak bapak bersedia berlutut di depan anak saya dan berjanji tidak akan mengulangi hal ini." lanjutnya.

Semuanya hening.

"Bagaimana?"

Lalu apa yang terjadi?

Untuk ayah Pansy yang berjiwa budak korporat dan Pansy yang tidak pernah sudi hidup miskin, berlutut bukanlah hal yang susah tentunya.

Begitulah masalah ini selesai bagi mereka.

Tapi.. tidak semudah itu untuk Hermione.

.

Pansy menangis tersedu-sedu di pelukan teman-temannya. Dia bercerita tentang kejadian di kantor kepala sekolah beberapa saat lalu.

Saat dia dipaksa berlutut kalau tidak mau ayahnya di PHK dari perusahaan dimana ayah Hermione memimpin. Dia juga bercerita bagaimana Hermione menendang wajahnya ketika Pansy berlutut.

Hermione tersenyum saja di mejanya. Gadis itu melebih-lebihkan ternyata.

KRINGGG!

Semua anak bersiap di mejanya masing-masing. Hermione menaruh buku fisikanya dan mengambil buku matematika. Saat kepalanya terangkat, Ia diam beberapa saat ketika pandangan matanya bertemu dengan sepasang mata yang selama ini membuatnya berdebar.

Terkejut seorang Hermione bisa menyukai seseorang?

Ya, biar bagaimanapun dia hanyalah anak perempuan biasa yang bisa jatuh cinta.

Seorang laki-laki manis berkacamata itu duduk di sebelah meja Hermione. Ia tertawa bersama temannya yang sedang mengeluarkan candaan. Senyumnya sangat manis, membuat Hermione seketika lupa akan masalahnya.

"Harry!"

Seseorang meneriaki nama laki-laki itu. Seketika semua mata memandang ke arah pintu depan. Terlihatlah di sana seorang perempuan berambut kemerahan dengan tubuh kecil yang sedang menatap Harry dengan marah. Sedangkan yang ditatap malah cengangar-cengingir kesenangan.

"Mana buku gue?!!" teriaknya ketika sudah berada di samping Harry. Yang berarti di samping Hermione juga.

Harry berdiri menghadap gadis itu. "Mana gue tahu. Kenapa tanya gue?" katanya dengan meledek.

"Harry!

"Yes, Ginny?" jawab Harry dengan lembut.

Ya, gadis kecil itu adalah Ginny. Anak kelas sebelah yang sangat cerewet bagi Hermione.

Hermione benar-benar benci anak itu. Lihat saja sekarang. Dia membuat drama lagi di sekolah. Ingin dilihat seisi sekolah kalau dia dekat dengan Harry?

"Lo pasti yang ngambil buku gue! Cepet kembaliin! Sebentar lagi dikumpulin!!"

"Gue nggak ngambil buku lo, Gin. Jangan asal tuduh."

"JANGAN MAIN-MAIN! CEPET!"

"Ginny, gue ngga-"

"Udah belum dramanya?" perkataan tenang namun menusuk keluar dengan mulusnya dari mulut Hermione. Dia biasa saja berkata begitu. Bahkan matanya tidak menatap Harry atau Ginny. Dia sibuk melihat catatan matematikanya seraya memangku tangan.

Hening. Perdebatan Harry dan Ginny berhenti.

Hermione menyadari itu. Dia mengangkat kepalanya untuk menatap seisi kelas.

"Sorry, gue lagi nelfon." katanya seraya menyelipkan rambutnya ke telinga untuk memperlihatkan earphonenya.

Namun semua juga tahu kalau Hermione itu menyindir.

Ginny menelan salivanya. Ia jadi tak enak hati. Ia pun segera meninggalkan kelas itu setelah menunduk singkat tanda permohonan maaf karena sudah berbuat ribut.

Hermione tidak peduli dengan semua mata yang memandangnya tak suka. Yang penting anak pembawa sial itu pergi baginya.

Lihat, sok superior kan dia?

Mentang-mentang orang kaya, dia jadi seenaknya.

Enggak peduli perasaan orang lain.

Hermione menggeleng pelan. Dasar orang-orang aneh. Dia padahal tidak banyak omong, tapi kenapa banyak yang benci? Sedangkan Ginny yang berisik itu saja malah banyak yang suka.

Dunia tidak adil.

[]

Serendipity [Dramione]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang